Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ibu Ida Fauziyah mengatakan, selain membuat regulasi yang baik dalam bidang ketenagakerjaan dan peningkatan kompetensi sebagai daya saing pekerja, hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai penunjang pembangunan ekosistem ketenagakerjaan yang unggul adalah dengan cara membangun budaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang baik. Merujuk dari data BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2019 terdapat 114.000 kasus kecelakaan kerja dan pada tahun 2020 terjadi peningkatan sebanyak 177.000 kasus kecelakaan kerja. Data kasus kecelakaan kerja tersebut dapat dilihat berdasarkan dari jumlah klaim yang diajukan oleh pekerja yang mengalami kecelakaan kerja. Dari data tersebut dapat diartikan, angka kecelakaan kerja yang sesungguhnya jauh lebih besar, karena belum semua tenaga kerja menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Oleh sebab itu, semua pihak dituntut untuk lebih serius dalam menerapkan budaya K3. Kecelakaan kerja tidak hanya menyebabkan kematian, kerugian materi, moril dan kerusakan lingkungan, namun juga dapat mempengaruhi produktivitas dan kesejahteraan masyarakat,” kata Menaker Ibu Ida Fauziyah yang dikutip oleh Kompas.com melalui tayangan Youtube Kementerian Ketenagakerjaan, pada Selasa (12/1/2021).
Definisi budaya secara umum adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang serta diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit seperti sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Sedangkan definisi dari budaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) menurut Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations (ACSNI) tahun 1993 yang kemudian diadaptasi oleh Health and Safety Executive dalam buku Lee’s Process Safety Esential, menjelaskan bahwa budaya K3 adalah sebuah produk dari nilai dalam individu dan kelompok, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang menentukan komitmen untuk melakukan sesuatu serta gaya dan profisiensi dari manajemen kesehatan dan keselamatan kerja dalam sebuah organisasi.
Health and Safety Executive (HSE) merupakan regulator K3 dari Inggris. Mereka membuat model budaya K3 yang terdiri dari 5 tahapan. Tahapan pertama menunjukkan bahwa perusahaan melaksanakan K3 hanya untuk menghindari hukuman baik dari pemerintah, pekerja atau masyarakat. Tahap kedua menunnjukkan bahwa K3 lebih penting namun pelaksanaan lebih ke reaktif daripada preventif sehingga manajemen percaya bahwa problem K3 disebabkan oleh kesalahan dari pekerja. Pada tahap ketiga, kecelakaan kerja sudah lebih rendah dan manajemen menyadari bahwa pekerja merupakan bagian untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja ke depannya. Tahap keempat merupakan tahap di mana seluruh elemen pekerja menyadari pentingnya K3 dan manajemen serta pekerja memiliki kontribusinya masing-masing dalam budaya keselamatan dan kesehatan kerja. Pada tahap kelima, K3 di perusahaan dianggap sudah matang dengan investasi yang bagus dalam meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja.
Menurut Ferraro; Gadd and Collins (2002), budaya K3 pertama kali diangkat oleh International Atomic Energy Agency (IAEA), bedasarkan analisis kecelakaan kerja di berbagai industri menunjukkan bahwa penyebab utama dari kecelakaan kerja bukanlah karena tidak tersedianya peralatan K3 seperti Alat Pelindung Diri (APD) atau peraturan dan prosedur K3 dalam manajemen K3, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh budaya dan iklim K3 dalam sebuah organisasi. Budaya K3 merupakan kombinasi dari sikap-sikap, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma dan persepsi dari para pekerja dalam sebuah organisasi yang memiliki keterkaitan secara bersama terhadap K3, perilaku selamat dan penerapannya secara praktis dalam proses produksi (Clarke, 2000).
Salah satu pekerjaan terbesar dalam penerapan budaya K3 yang tidak akan pernah usai adalah mempertahankan budaya K3 itu sendiri dalam sebuah organisasi, seperti membiasakan pekerja untuk selalu dapat mengelola risiko yang bisa memicu terjadinya kecelakaan kerja. Dalam budaya K3 terdapat aspek-aspek pendekatan yang saling berinteraksi dan saling berhubungan satu dengan lainnya, seperti aspek psikologi (cara berpikir), aspek sosiologi (cara berinteraksi) dan aspek antropologi (cara membuat artefak atau peninggalan). Budaya K3 dalam aspek psikologi tidak dapat dilepaskan dari cara berpikir dalam upaya menurunkan atau bahkan menghilangkan risiko bahaya. Pada praktek K3 di lapangan yang telah berhasil menciptakan rekor sekian puluh juta jam kerja tanpa kecelakaan tidak terlepas dari cara berpikir untuk selalu memberi prioritas pada upaya mengurangi atau meniadakan kemungkinan adanya resiko bahaya. Dengan mengunci kemungkinan resiko bahaya pada tingkatan atau level tertentu yang dapat diterima, maka kondisi nihil insiden dapat terbangun dengan sendirinya. Hal ini merupakan salah satu langkah atau cara berpikir yang dapat diyakini sebagai pemicu terbentuknya budaya K3.
Aspek sosiologi dalam budaya K3 merupakan cara bagaimana memilih bahasa yang baik dan positif dalam menyampaikan pesan-pesan keselamatan untuk selanjutnya diharapkan terbangun kesadaran yang berkesinambungan untuk berperilaku nihil risiko. Menurut Prof Edgar Schein seorang ahli budaya organisasi, menjelaskan bahwa tidak akan pernah ada budaya dalam organisasi, jika terdapat elemen yang tidak paham apa yang sudah ditulis oleh organisasi dan apabila para pemegang kekuasaan organisasi atau top manajemen menggunakan bahasa sinisme. Cara berinteraksi menurut Prof Schein ditentukan secara langsung oleh dua faktor yaitu pemilihan kalimat dan kemampuan berbahasa yang positif. Cara berinteraksi yang berbasis pada dua faktor tersebut akan menumbuhkan norma-norma yang akan dipercaya sebagai hal yang harus dilakukan. Prof Toety Herawati dalam bukunya yang berjudul Aku dan Budaya bahkan menitikberatkan budaya akan muncul ketika seseorang sudah keluar dari cara berkomunikasi yang serampangan. Intinya adalah pemilihan tata bahasa yang mengandung unsur positif, penyusunan kalimat dalam bahasa yang jelas dan lugas serta penyusunan makna yang mudah dipahami adalah merupakan akar dari cara berinteraksi dan norma adalah buah dari cara berinteraksi tersebut.
Dalam aspek antropologi setiap budaya selalu menghasilkan artefak. Menurut Prof Schein artefak merupakan ukuran dari seberapa tinggi suatu budaya yang pernah ada dan artefak juga merupakan obyek untuk dipelajari secara tuntas, terkait kenapa terdapat benda peninggalan dari generasi sebelumnya. Dalam budaya K3, yang menjadi artefak atau benda peninggalan adalah indikator kinerja K3. Indikator kinerja K3 ini adalah benda peninggalan dari serangkaian kegiatan K3 dalam upaya untuk mencegah terjadinya insiden atau kerugian. Indikator kinerja K3 tidak hanya memberikan informasi pada semua pihak dalam organisasi tentang What Went Go Wrong (Apa saja yang tidak benar telah terjadi)” tapi juga merupakan sumber-sumber terhadap Learn from Success (belajar dari keberhasilan). Trend-trend dalam indikator kinerja K3 merupakan sarat akan informasi yang perlu digali dan dilacak berbagai faktor keberhasilan dan faktor kegagalan yang telah berperan di dalamnya. Cara menghasilkan indikator kinerja K3 sebagai artefak adalah merupakan salah satu langkah untuk membangunkan budaya K3 yang bangkit maju, berperan dan berimprovisasi dalam membebaskan semua aktifitas perusahaan dari risiko bahaya yang tidak dapat diterima.
Selain aspek-aspek pendekatan yang saling berinteraksi dan saling berhubungan satu dengan lainnya dalam budaya K3. Terdapat juga elemen-elemen dalam membentuk budaya K3 yang baik dan positif, seperti budaya untuk mencari informasi (Informed Culture), budaya melaporkan (Reporting Culture), budaya belajar (Learning Culture), budaya fleksibel (Flexibility Culture) dan budaya adil (Just Culture). Budaya mencari informasi bertujuan untuk membantu organisasi mencegah ketidakwaspadaan dalam ketiadaan kecelakaan kerja. Organisasi dengan budaya K3 yang kuat selalu waspada dan percaya bahwa kondisi yang aman tetap dapat berpotensi adanya resiko bahaya. Jika semua orang tidak melihat adanya potensi resiko bahaya, maka mereka berasumsi bahwa tidak akan ada bahaya sehingga mereka tidak diharuskan untuk bertindak apapun. Ini adalah suatu kondisi yang tidak tepat, sehingga diperlukan adanya usaha-usaha untuk mengikis asumsi-asumsi tersebut.
Oleh karena itu, dalam ketiadaan kejadian kecelakaan kerja dan dalam usaha untuk mempromosikan perhatian keselamatan kerja yang terjadi disebuah organisasi harus membuat sebuah sistem informasi yang dapat mengumpulkan, menganalisa dan membagikan informasi tentang manusia, technical, organisasi dan faktor lingkungan yang menunjukkan keseluruhan tentang sistem keselamatan kerja. Namun, hal ini tidak semudah seperti dalam pelaporan kecelakaan kerja. Menurut Hopkins, banyak studinya terkait dengan kecelakaan kerja baik mayor ataupun minor yang selalu menunjukkan bahwa sebelumnya sudah ada informasi yang telah dilaporkan dan dianalisa, informasi inilah yang menjadi sinyal lemah tentang munculnya kecelakaan kerja suatu saat nanti. Sebuah organisasi yang berkomitmen untuk mencegah kecelakaan selalu menyadari informasi tersebut dan berusaha untuk mencegahnya serta mengumpulkan informasi lebih banyak. Pekerja dalam budaya tersebut juga didorong untuk melaporkan kondisi tidak aman, bahaya, prosedur yang tidak efektif, proses yang gagal, beberapa alarm dan lain-lain untuk mencegah potensi kecelakaan.
Budaya melaporkan dalam industri yang beresiko tinggi bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang keselamatan kerja melalui laporan dan investigasi kecelakaan. Ketidakinginan untuk menyelidiki dan berdiskusi tentang kecelakaan dapat mengakibatkan kehilangan peluang untuk mencegah bencana di masa depan dan dapat menjadi tanda bahwa produksi lebih dihargai dari pada keselamatan kerja. Ketidakinginan untuk melaporkan kecelakaan dapat terjadi ketika proses pelaporan terlalu rumit atau terdapat ketidakpercayaan di antara lapisan atau bagian dalam organisasi. Ini bisa diatasi dengan memperkenalkan sistem pelaporan di mana identitas dari pelapor hanya diketahui oleh badan yang dipercayai biasanya adalah departemen HSE.
Sebuah organisasi dengan budaya belajar yang kuat akan memperoleh beragam informasi dari berbagai macam sumber, mengambil pelajaran dari setiap informasi yang diperoleh, membagi pelajaran yang di dapat dan menindaklanjuti proses pengembangan keselamatan kerja ke depannya. Organisasi pembelajar akan mencari pandangan yang berlawanan untuk mencari kesempatan belajar dengan lebih efektif. Mereka terbuka akan berita yang buruk sehingga informasi tidak dikecilkan begitu sampai ke top management. Laporan yang ada merupakan laporan yang valid karena sistem pelaporan berdasarkan kejujuran dan kepercayaan. Karena organisasi secara jelas merespon laporan, maka pekerja akan merasa terdorong untuk terus melapor, sehingga menghasilkan budaya pelaporan yang lebih efektif. Organisasi pembelajar sangat sensitif dengan pelajaran dari berbagai macam sumber. Mereka bisa mengambil pembelajaran dari sistem pelaporan internal, analisa root cause yang sistematik hingga belajar dari kecelakaan dari organisasi eksternal. Organisasi pembelajar juga menghindari informasi penting yang hilang bersamaan dengan pekerja mereka yang mundur dari pekerjaan. Hal ini dikarenakan mereka sudah menganalisa, menyimpan, menyebarkan dan membangun informasi-informasi penting ke dalam penerapan yang terus berkelanjutan.
Budaya fleksibel dalam sebuah organisasi akan memungkinkan organisasi untuk mempertahankan koordinasi dalam level yang efektif dan perhatian yang tepat mengingat terdapat perbedaan dalam proses pengambilan keputusan karena perbedaan tingkat urgensi dan kehandalan dalam semua pihak yang terlibat. Budaya fleksibel ditandai dengan kemampuan untuk mengganti struktur organisasional dari hierarki konvensional ke struktur operasional yang lebih setara tanpa harus kehilangan kualitas dalam pengambilan keputusan. Ciri budaya fleksibel adalah responsif, melibatkan dan beradaptasi serta berfokus pada kemampuan seseorang sebagai sebuah individu untuk terlibat dalam pemecahan masalah ketimbang kemampuan orang tersebut sebagai bagian dari struktur organisasi. Sangatlah penting bagi sebuah perusahaan untuk menyadari jangkauan kemampuan dari pekerjanya dan bagaimana menggunakan kemampuan tersebut saat diperlukan. Banyak orang yang menghargai kesempatan untuk mempertunjukkan kemampuan mereka dalam organisasi yang pada ujungnya akan membuat budaya fleksibel di perusahaan akan lebih baik lagi. Organisasi yang ingin mendapat budaya fleksibel harus melatih kemampuan para pekerjanya dan mengkaji kembali kemampuan yang diberikan untuk merespons ancaman dari setiap kejadian serta memastikan fleksibilitas structural yang cocok dan efektif.
Budaya Adil merupakan sarana yang kuat untuk elemen-elemen lain dalam budaya K3. Harapan yang jelas, implementasi yang konsisten terhadap semua peraturan, proses investigasi yang adil serta respons yang adil terhadap mereka yang melanggar peraturan akan menjadi pesan yang kuat bagi seluruh pekerja tentang hak dan kewajiban mereka yang benar. Penting untuk sebuah organisasi agar menetapkan batasan-batasan yang tidak jelas. Contohnya pada masalah kekerasan atau terkait konsumsi alkohol dalam tempat kerja, batasan tersebut secara terus menerus bergerak dan dinegosiasi kembali. Bahkan, kasus-kasus pelanggaran yang seharusnya jelas seperti konsumsi narkoba dalam tempat kerja, pengendalian yang dilakukan oleh organisasi dapat bervariasi. Organisasi dapat menghukum pekerja atau justru mengirimnya ke pusat rehabilitasi sebagai bentuk dukungan untuk pekerja dalam keadaan sulit tersebut. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menetapkan batasan-batasan dalam organisasi dan mengkomunikasikan ke seluruh pekerja serta diterapkan secara konsisten.
Semoga bermanfaat.