Sebuah perusahaan rokok yang cukup besar disebuah kota di Jawa Tengah mempekerjakan 19 orang karyawannya untuk mengisi jabatan salesman di kantor cabangnya. Dari 19 orang tersebut, beberapa karyawan menunjukkan hasil yang tidak sempurna dalam memenuhi target penjualan perusahaan. Usut punya usut ternyata 9 dari 19 karyawan tersebut adalah karyawan yang dulunya bekerja sebagai driver di perusahaan tersebut. Adanya situasi manajerial yang rumit mendesak atasan untuk membuat keputusan dengan memindahkan karyawan yang bekerja sebagai sales assistant (driver) ke jabatan sales. Hal itulah yang diduga sebagai faktor yang membuat target penjualan perusahaan tersebut menurun, kompetensi yang seharusnya membutuhkan tenaga salesman malah diisi oleh mereka yang bekerja sebagai driver. Kompetensi yang dimiliki driver tidak sesuai dengan yang dituntut oleh jabatan salesman. Perusahaan tentunya menginginkan karyawan yang berkompeten dalam mengisi jabatan itu sendiri, sehingga hal tersebut adalah kesalahan dari pihak manajerial perusahaan rokok tersebut.
Kompetensi adalah prediktor dari sebuah kinerja. Seorang individu akan memiliki kinerja yang baik atau kurang bergantung dari kompetensi yang dimilikinya. Dalam sebuah perusahaan, karyawan yang tidak mempunyai kompetensi yang sesuai untuk pekerjaannya akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Di dalam kompetensi sendiri terdapat berbagai komponen yang menunjukkan tolak ukur kualitas seorang karyawan. Para ahli mengatakan bahwa ada 4 komponen utama untuk membentuk kompetensi, yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang, kemampuan, pengalaman, dan perilaku individu. Karena kompetensi pada umumnya menyangkut kemampuan dasar seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, maka tanpa adanya kompetensi seseorang akan sulit menyelesaikan pekerjaan tersebut sesuai dengan standar yang ditetapkan. Oleh karenanya, perusahaan dapat mencapai keberhasilan apabila didukung karyawan yang berkompetensi tinggi. Dari penjelasan tersebut maka tidak heran jika setiap perusahaan berusaha mencari karyawan yang mempunyai kompetensi yang sesuai dengan pekerjaannya.
Berbicara tentang dunia kerja yang nyata terkadang kita menemui karyawan yang kompetensinya tidak sesuai dengan jabatan yang saat itu ia duduki. Hal itulah yang disebut sebagai fenomena Gap Competence (gap kompetensi). Jika kita telaah kalimat tersebut kita akan menemukan dua kata yaitu gap (jarak) dan kompetensi. Gap sendiri adalah sebuah jarak atau kekurangan yang memisahkan realita dengan harapan yang ingin dituju, sedangkan kompetensi adalah gabungan dari knowledge (pengetahuan), skill (kemampuan), dan attitude (sikap) yang tentunya dimiliki oleh setiap orang namun dengan taraf yang berbeda antar individu. Gap kompetensi sendiri biasanya diukur dengan cara membandingkan sebuah ekspektasi kompetensi dari jabatan terhadap profil individu karyawan. Jika jabatan meminta sebuah kompetensi namun karyawan tersebut tidak kompeten sehingga gagal memenuhinya maka hal itu dapat disebut sebagai gap kompetensi. Semakin banyak gap kompetensi yang dimiliki oleh karyawan dalam sebuah perusahaan akan menjadi hal yang meresahkan dan tentu saja akan berpengaruh kepada ekosistem perusahaan.
Umumnya gap kompetensi terjadi karena perencanaan dan pengawasan yang buruk dari pihak manajemen perusahaan. Perusahaan terlalu berfokus kepada strategi dan profit perusahaan tetapi mengabaikan kompetensi karyawannya yang ternyata masih belum mumpuni untuk merealisasikan strategi-strategi tersebut. Beberapa faktor seperti perubahan teknologi juga menyebabkan gap kompetensi dalam perusahaan. Berdasarkan laporan Wiley Education Services dan Future Workplace pada 2019, dari 600 pemimpin SDM yang disurvei, 37% menyatakan bahwa perubahan teknologi dan ketidaksesuaian keterampilan yang dibutuhkan adalah penyebab paling sering dari gap kompetensi. Selain itu gap kompetensi yang terjadi pada karyawan juga berasal dari tuntutan perusahaan yang mengekspektasikan hal yang tidak realistis. Target yang tinggi namun biaya operasional yang rendah adalah contohnya, perusahaan tentunya selalu berorientasi kepada profit namun tidak baik jika perusahaan mengenyampingkan kompetensi karyawan yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh perusahaan.
Sesuai dengan pembahasan di poin-poin sebelumnya, gap kompetensi menjadikan situasi menjadi rumit dengan keterbatasan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya. Keadaan tersebut selain berimbas pada perusahaan juga berdampak pada perkembangan karir karyawan tersebut. Akan mudah bagi karyawan untuk berbenah diri jika ia telah mengetahui letak kesalahan dan kekurangannya, namun bagi karyawan yang belum sadar dengan gap kompetensinya perlu ada tahapan khusus untuk mengidentifikasi hal tersebut.
Tahapan yang pertama yaitu mengidentifikasi penyebab gap kompetensi – Dengan melakukan identifikasi melalui data dan observasi terhadap karyawan maka permasalahan yang berhubungan dengan gap kompetensi akan terlihat. Identifikasi tersebut meliputi penggunaan indikator kinerja karyawan yang dapat menilai kinerja dan kontribusi karyawan terhadap perusahaan. Penggunaan pendekatan umpan balik juga dirasa efektif, karena terjadi komunikasi dua arah dari pihak karyawan dan manajemen dengan cara meminta evaluasi secara langsung baik itu dari pihak atasan, karyawan, manajerial, bahkan pelanggan dan vendor. Jika dua hal tersebut dirasa kurang efektif maka turun kelapangan dan melakukan observasi secara langsung dapat digunakan untuk mengamati kinerja karyawan, terkadang cara ini memberikan keuntungan yang tidak diberikan oleh cara sebelumnya, yaitu observasi langsung dapat memberikan informasi yang tidak di dibuat-buat sehingga data yang didapatkan bersifat lebih apa adanya.
Tahapan yang kedua yaitu memberikan pelatihan kepada karyawan – Pelatihan tersebut dapat difokuskan kepada pembelajaran khusus berdasarkan kemampuan yang ingin ditingkatkan oleh karyawan. Jika menggunakan metode pelatihan dengan cara mendengarkan mentor menjelaskan materi tentunya sangat membosankan, agar pelatihan tersebut lebih menarik dan membekas dalam ingatan karyawan maka dapat digunakan cara lain seperti sharing session, penggunaan metode pembelajaran gambar dan video, serta menggunakan permainan-permainan yang edukatif. Disamping itu karena lingkungan pekerjaan yang selalu berubah maka pelatihan karyawan tidak boleh hanya dilakukan pada waktu pembelajaran saja tetapi pelatihan juga harus dilakukan saat mereka sedang bekerja, caranya adalah dengan menggunakan sistem mentoring sehingga setiap apa yang mereka lakukan dapat dimonitor sera menjadi evaluasi yang dapat meningkatkan kemampuan serta kinerja karyawan.
Tahapan yang ketiga yaitu dengan mengajak karyawan untuk melatih diri sendiri – Inti dari perkembangan berawal dari diri sendiri, tetapi tidak semua orang mau untuk berkembang. Proses pembelajaran mandiri tiap karyawan tidak bisa terjadi secara otomatis. Perlu ada sebuah dorongan untuk menumbuhkan budaya belajar mandiri dan rasa ingin tahu agar karyawan dapat terdorong untuk berlatih sendiri serta mengasah keterampilan mereka sehingga sesuai dengan kompetensi yang diinginkan oleh perusahaan. Beberapa hal yang dapat diterapkan untuk membantu perkembangan mereka yaitu dengan memberikan subsidi berupa pemberian alat, konten, dan peluang pembelajaran yang mereka butuhkan agar keterampilan mereka bisa meningkat. Terkadang hal tersebut tidak selamanya berhasil karena tiap karyawan memiliki motivasi yang berbeda, cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan motivasi berupa promosi, kenaikan gaji, dan penghargaan lainnya sehingga karyawan dapat termotivasi untuk mengembangkan diri mereka.
Tahapan yang keempat yaitu mengevaluasi hasil pelatihan – Jika 2 tahapan diatas membahas tentang pelatihan pada karyawan beserta metode-metode maka tahapan ini membahas hasil dari pelatihan tersebut. Setelah pelatihan karyawan selesai maka tindakan selanjutnya adalah melakukan evaluasi terhadap pelatihan yang diberikan kepada karyawan. Evaluasi tersebut meliputi analisis terhadap bagian mana saja dari pelatihan tersebut yang berjalan dengan efektif dan yang tidak efektif. Setelah menemukan bagian-bagian tersebut maka langkah selanjutnya yaitu dengan melakukan pembaharuan terhadap program pelatihan. Dari hasil evaluasi tersebut akan terlihat apakah gap kompetensi dalam perusahaan berhasil diatasi atau tidak.
Tahapan yang kelima yaitu memeriksa kembali prosedur perekrutan – Jika seluruh usaha untuk melakukan pelatihan telah dikerahkan namun masih belum memberikan hasil yang maksimal maka mungkin yang menjadi masalah justru berada di pihak internal itu sendiri. Cobalah untuk menghubungi bagian HRD guna memeriksa prosedur perekrutan yang saat ini diterapkan di perusahaan. Tidak jarang penyebab terjadinya gap kompetensi di lingkungan kerja adalah kesalahan dari prosedur perekrutan yang tidak berjalan sesuai dengan rencana. Membahas tentang prosedur perekrutan kita dapat mulai kembali ke pembahasan yang basic seperti “Keterampilan apa yang dibutuhkan oleh perusahaan?” atau “Keterampilan apa yang tidak relevan bagi perusahaan?” Jika kedua hal tersebut dapat dipilah maka proses perekrutan akan menjadi lebih jelas dan tidak akan terjadi salah paham dalam perusahaan. Selain itu, pastikan juga bahwa kandidat karyawan yang telah melamar dan memenuhi syarat kompetensi untuk menjelaskan mengapa mereka yang paling cocok untuk lowongan ini. Dapat memahami sejarah dan motivasi pelamar adalah salah satu kunci untuk meminimalisir terjadinya gap kompetensi dalam perusahaan.
Tahapan yang keenam yaitu perlu adanya pembaruan dan peremajaan dalam perusahaan – Seringkali dalam perusahaan terdapat sebuah kasus dimana karyawan yang lebih senior yang telah terpaku dengan metode lama seringkali tidak dapat beradaptasi dengan teknologi modern. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan merekrut karyawan muda yang tahu serta paham tentang penggunaan teknologi yang baik dan benar. Perkembangan teknologi kini semakin cepat, benefit yang didapatkan ketika merekrut karyawan muda adalah pemahaman mereka tentang teknologi lebih tajam dibandingkan karyawan yang lebih senior. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa bukan berarti perusahaan harus mengganti seluruh karyawannya dengan mereka yang lebih muda tetapi lebih ke pengkombinasian antara karyawan muda dan karyawan senior. Bayangkan sebuah perusahaan dimana terjadi kombinasi antara kemampuan karyawan muda dan pengalaman dari karyawan senior, kombinasi tersebut akan memberikan keseimbangan yang sempurna sehingga perusahaan dapat terus maju.
Pada akhirnya kondisi gap kompetensi terjadi karena masalah-masalah managerial yaitu keputusan organisasi untuk melakukan efisiensi di perusahaan dan adanya faktor urgensi. Pada paragraf awal diceritakan tentang gap kompetensi pada karyawan perusahaan rokok, pokok masalah dari permasalahan tersebut berawal dari masalah ekonomi sehingga mereka menerima segala pekerjaan meskipun itu diluar bidang kompetensi mereka. Para pekerja yang menyadari adanya kemampuan yang kurang, menerima tawaran yang diberikan karena adanya hal-hal yang menjadi kebutuhan dasar seperti gaji yang lebih tinggi atau tawaran untuk naik pangkat. Akhir dari cerita tersebut berfokus kepada pihak manajerial yang berusaha untuk melakukan edukasi terhadap karyawan yang berbasis customer orientation sehingga dapat memenuhi standar kompetensi yang berlaku.Upaya dilakukan secara terus menerus sehingga diharapkan karyawan dapat semakin dekat dan sesuai dengan kompetensi yang diharapkan pada pekerjaaan itu sendiri. Hasil akhirnya dibandingkan dengan sebelum pelatihan karyawan yang telah menjalani pelatihan sangat mempengaruhi keberhasilan proses penyesuaian kompetensi tersebut.
Semoga bermanfaat