Audit Internal terhadap sistem yang dijalankan merupakan salah satu tools yang sangat penting dalam proses evaluasi dan penilaian kinerja pada sebuah perusahaan.
Audit Internal dimaksudkan untuk meninjau tingkat kesesuaian dan efektifitas penerapan sistem yang telah ditetapkan dan menjadi dasar arah strategi yang ingin dicapai. Untuk melakukan proses Audit Internal hendaknya pimpinan perusahaan memastikan penetapan metode audit internal sudah dilakukan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan sistem.
Salah satu metode Audit yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan scoring system. Yang dimaksud dengan ‘Scoring System’ dalam pelaksanaan audit internal adalah menetapkan kriteria yang kuantitatif (umumnya dengan memberikan skor untuk setiap jawaban terhadap pertanyaan di dalam daftar pertanyaan dimana masing-masing pertanyaan sudah dilengkapi dengan skor maksimal yang bisa diperoleh) untuk dipakai mengukur temuan audit dengan lebih tepat dan terukur.
Saat ini banyak perusahaan-perusahaan menerapkan sistem ini dalam pelaksanaan audit internal dengan alasan supaya lebih terukur dan gampang melakukan analisa (apalagi kalau ingin melakukan analisa yang bersifat statistik).
Scoring System yang digunakan bermacam-macam, mulai dari yang sederhana sampai yang dibikin rumit. Sistem yang paling sederhana disusun dengan tahapan berikut :
Angka/Skor 0 (nol) diberikan untuk setiap pertanyaan yang jawaban dan bukti obyektif menyimpulkan adanya ketidaksesuaian /non-conformance terhadap persyaratan.
Angka/Skor 5 (lima) diberikan untuk jawaban dan bukti obyektif yang bisa dikategorikan sebagai observasi atau semacam inkonsistensi. Katakanlah dari 5 sample yang diambil maka ada 2 yang tidak sesuai, sedangkan yang 3 lagi semuanya sesuai.
Angka/Skor 10 (sepuluh) diberikan untuk jawaban dan bukti obyektif yang sepenuhnya sesuai dengan persyaratan SMM.
Sedangkan contoh dari bentuk pemberian skor yang lebih rumit dari metode ini bisa dengan memberikan pembobotan lebih lanjut terhadap setiap pertanyaan, pemberian bobot bisa dipertimbangkan dari tingkat kepentingan proses yang tercantum dalam pertanyaan, misal dari besar atau kecilnya dampak yang ditimbulkan oleh ketidaksesuaian terhadap kinerja bisnis perusahaan, pemenuhan perundangan maupun kepuasan pelanggan.
Untuk mendapatkan hasil audit secara menyeluruh, angka skor dari hasil audit secara keseluruhan akan dijumlahkan lalu dicari persentasenya terhadap total skor maksimum yang mungkin dicapai. Didapatlah semacam skor yang kemudian dianggap mewakili kinerja implementasi sistem.
Banyak perusahaan yang tertarik menggunakan ‘Scoring System’ untuk proses audit internalnya. Terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan ‘Scoring System’, antara lain :
- Temuan menjadi lebih terukur (karena beupa angka / prosentase) dibandingkan dengan menyebut temuan Major, Minor, observasi, atau S dan TS. Sehingga hasil audit secara keseluruhan lebih terukur.
Contohnya : Bandingkan antara menyimpulkan melalui statement ”terdapat 2 temuan Minor, dengan ‘”Kinerja sistem berdasarkan hasil audit adalah pada level 80%. Hasil dengan sistem scoring jelas terukur bukan ?
- Faktor subyektifitas dalam melakukan audit dan penyajian laporan menjadi diminimalisir karena ada standard penilaian yang bisa dijadikan acuan sehingga orang lain pun bisa menilai apakah audit telah dilakukan subyektif atau tidak.
- Analisa data terhadap hasil audit, kinerja sistem, efektifitas pelaksanaan sistem dan perbaikan berkesinambungan menjadi lebih gampang dilakukan karena ada data yang terukur dan bisa diolah secara statistik. Misalnya : hasil audit di bulan Juli 2014 untuk bagian produksi adalah 70%, lalu saat audit di bulan Januari 2015 menjadi 80%. Dengan analisa trend sederhana terhadap data ini bisa disimpulkan ada perbaikan berkelanjutan di bagian produksi dalam kaitannya dengan implementasi sistem
Meskipun demikian, berdasarkan pelaksanaan audit dengan sistem scoring selama ini, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait pelaksanaan ‘Scoring System’ yang pada akhirnya menyebabkan sistem ini tidak efektif dalam mendukung pelaksanaan audit internal sistem.
Penggunaan ‘Scoring System’ untuk audit mutu internal berpotensi menimbulkan kerancuan. Penyebabnya tidak lain karena banyak sistem yang dibentuk dari standart yang bersifat qualitative bukan standard yang quantitative misal ISO 9001. Dengan demikian, tidak ada suatu standard yang bisa dijadikan acuan dalam menerapkan scoring. Akibatnya setiap perusahaan atau organisasi bebas menetapkan scoring system masing-masing yang tentu saja tidak sama standartnya antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Angka 80% atau skor 80 di satu perusahaan bisa berbeda makna di perusahaan lain yang punya scoring system berbeda.
Akan berbeda jika pelaksanaan ‘Scoring System’ diterapkan terhadap suatu standard yang memang sifatnya quantitative, atau punya skor yang sudah standard terhadap setiap persyaratan, misalnya audit terhadap standard Malcom Baldrigde untuk performance excellence, di mana sudah ada poin / skor yang standard terhadap setiap persyaratan. Dengan demikian skor hasil audit bisa ditelusur dan bisa dijadikan komparasi yang seimbang.
Selain karena banyaknya standart yang digunakan bersifat tidak quantitative Begitu pula dalam setiap proses bisnis di setiap perusahaan, sulit ditetapkan standard yang bisa menggambarkan perbandingan kinerja yang sebanding antara satu proses dengan proses lain karena ‘Scoring System’ tergantung pada daftar pertanyaan yang relevant terhadap ruang lingkup pekerjaan dan aktifitas di satu proses. Sebagai contoh : Bagian Purchasing bisa saja mendapat nilai 100% karena mereka hanya mengendalikan 3 Purchase Order (PO) dalam 1 tahun dan hanya ada 2 prosedur terkait pekerjaan mereka. Sebaliknya bagian Mekanik tidak pernah mendapatkan angka 100% karena selama periode 1 tahun bisa jadi ada 30 Laporan Kerusakan harus dikendalikan dalam satu tahun, belum lagi dengan adanya 4 Prosedur dan 30 Instruksi Kerja yang harus dijalankan. Kalau hanya melihat % skor hasil audit, selintas orang akan menyimpulkan bahwa kinerja pelaksanaan sistem di Marketing lebih baik daripada di Produksi. Padahal belum tentu realisasinya demikian. Akan berbeda jika implementasi ‘Scoring System’ diterapkan terhadap suatu standard yang memang sifatnya quantitative, atau punya skor yang sudah standard terhadap setiap persyaratan.
Semakin rumit ‘Scoring System’ yang dipakai, maka sebenarnya semakin besar potensi ketidak konsistenan dan subyektifitas. Kalau standardnya sederhana seperti contoh di awal tulisan ini (0, 5, 10) saja, cukup mudah diikuti dan dipahami oleh siapa saja. Tetapi bayangkan kalau standardnya menjadi 0 s/d 10. Setiap auditor bisa memberikan angka yang berbeda untuk item yang sama, tergantung kompetensi, pemahaman atas permasalahan, dan subyektifitas tiap auditor.
Akurasi sistem ini juga tergantung pada pemilihan pertanyaan yang harus disampaikan saat audit. Apabila yang membuat pertanyaan tidak kompeten, mungkin saja pertanyaan yang diajukan tterlalu sederhana, sehingga hasil audit akan selalu 100%.
Kesimpulannya, sebelum memutuskan menggunakan ‘Scoring System’ atau tidak dalam pelaksanaan audit internal terhadap sistem yanga ada, sebaiknya dipertimbangkan matang-matang dari sisi keuntungan dan kerugiannya. Dengan demikian bisa diputuskan apakah penggunaan ‘Scoring System’ memang akan memiliki nilai tambah untuk proses audit internal di perusahaan, dan yang tak kalah pentingnya adalah bahwa ‘Scoring System’ yang diterapkan mampu memberikan data yang akurat kepada Management terkait kinerja maupun efektifitas sistem di perusahaan.
Yang perlu dipertimbangkan pada saat akan melakukan pemilihan terhadap metode audit yang akan digunakan adalah tujuan dari Audit, kompetensi dari Auditor misal pembuat pertanyaan, kesepakatan Pemberian Indeks / Bobot berdasar Resiko, dan perlunya dilakukan Identifikasi Resiko.
Dan akhirnya semua proses akan lebih mudah apabila komunikasi dapat berjalan dengan lebih baik.