Bekerja di ketinggian atau sering disebut Working At Height (WAH), terdapat dihampir sebagian besar tempat kerja terlebih di dunia konstruksi yang sangat lekat dengan pekerjaan di atas ketinggian. Sudah puluhan orang meninggal akibat terjatuh dari ketinggian dan belum termasuk kerugian material yang diakibatkan. Selama hampir satu dekade dalam dunia konstruksi pekerjaan di ketinggian menjadi penyumbang  terbesar sebagai penyebab kecelakaan kerja dengan jumlah korban yang cukup banyak. Sebagai contoh dari data kecelakaan kerja yang tercatat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan tahun 2015, jumlah kecelakaan kerja mencapai 105.182 kasus, dari angka tersebut  38% adalah kecelakaan akibat pekerja jatuh dari ketinggian. Kecelakaan ini dapat terjadi pada saat pembangunan gedung atau jembatan. Selain itu, kecelakaan tersebut juga banyak terjadi di menara telekomunikasi saat adanya gangguan sinyal atau perbaikan rutin. Hal ini menjaga angka kecelakaan karena jatuh dari ketinggian selalu menjadi juara nasional bahkan 3 tahun berturut-turut menjadi yang tertinggi, ujar Kepala Seksi Pengawasan Norma Ergonomi dan Lingkungan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Muhammad Fertiaz, di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (9/11/2016), Kompas.com. 

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia sudah menerapkan standart regulasi pekerjaan di ketinggian yang maksimum kepada tenaga kerja maupun aset perusahaan yang tertuang dalam Permenaker No. 09 Tahun 2016 tentang K3 Pekerjaan Pada Ketinggian. Berdasarkan Permenaker No. 09 Tahun 2016, dijelaskan mengenai pengertian bekerja di atas ketinggian dan tata cara bekerja di ketinggian secara lengkap. Istilah bekerja di ketinggian menurut permenaker sendiri memiliki perbedaan dengan pemahaman yang selama ini berkembang, apabila selama ini para praktisi membatasi bekerja di atas ketinggian merupakan pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian mulai dari 1.8 meter, maka pada Permenaker No. 09 Tahun 2016, tidak memberikan batasan ukuran saat bekerja ketinggian. 

 

Definisi bekerja pada ketinggian menurut Permenaker No. 09 Tahun 2016 adalah kegiatan atau aktifitas pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja pada tempat kerja di permukaan tanah atau perairan yang terdapat perbedaan ketinggian dan memiliki potensi jatuh yang menyebabkan tenaga kerja atau orang lain yang berada di tempat kerja cidera atau meninggal dunia atau menyebabkan kerusakan harta benda. Peraturan terbaru tentang bekerja di ketinggian yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja ini memberikan panduan yang lengkap bagaimana suatu pekerjaan di ketinggian dapat dilakukan dengan aman. Tahap perencanaan bekerja di ketinggian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya potensi bahaya dan langkah pengendalian yang perlu dilakukan agar pekerja tidak terjatuh seperti memasang pagar pengaman, menggunakan fullbody harness atau perangkat penahan atau pencegah jatuh lainnya. Penerapan ijin kerja pada ketinggian juga diperlukan untuk memberikan instruksi atau memastikan hal lainnya yang terkait kelengkapan yang dibutuhkan pada pekerjaan di atas ketinggian.

Prosedur kerja juga wajib ada untuk memberikan panduan kepada pekerja, prosedur ini harus dipastikan bahwa tenaga kerja memahami dengan baik isi yang ada di dalamnya. Beberapa hal yang harus ada di dalam prosedur bekerja pada ketinggian meliputi teknik dan cara perlindungan jatuh, cara pengelolaan peralatan, teknik dan cara melakukan pengawasan pekerjaan, pengamanan tempat kerja, kesiapsiagaan dan tanggap darurat. 

 

Terdapat dua jenis perbedaan yang mendasar tentang bekerja di ketinggian yaitu adalah di saat melakukan pekerjaan di lantai kerja tetap atau sementara (kompetensi yang dimiliki lebih kepada orangnya terhadap bangunan tinggi) dan pekerjaan yang menggunakan akses tali (kompetensi yang harus diikuti oleh tenaga kerja pada ketinggian) jika dipersingkat perbedaan tempat kerjanya pada struktur atau pada akses tali. Dalam sisi perlindungan orang yang sedang bekerja di ketinggian juga berbeda, pada bangunan tinggi perlindungannya adalah melindungi sebelum pekerja tersebut jatuh sedangkan di akses tali perlindungan dibuat ketika orang tersebut sudah jatuh atau lebih mudahnya pemahaman fungsi dari fullbody harness. Bekerja pada bangunan tinggi sebagai penahan jatuh sedangkan untuk bekerja pada ketinggian atau akses tali fulbody harness nya didesain untuk mencegah jatuh. Pada bangunan tinggi potensi terjadinya suspension trauma sangat besar ketika terjatuh karena posisi penempatan lanyard dan bentuk pelindungnya (fullbody harness) yang tidak se-spesifik di ketinggian menggunakan tali. Sedangkan, di akses tali kemungkinan terjadinya suspension trauma sangat kecil karena peralatan dan kelengkapan yang dipersyaratkan memang ditujukan untuk orang tersebut jatuh (tergantung). 

 

Adapun perbedaan lainnya bekerja pada bangunan tinggi dan pada ketinggian (akses tali) terletak pada lantai kerja apakah pada struktur bangunan sementara atau tetap ataukah lantai kerjanya pada akses tali. Kompetensinya yang dimiliki juga berbeda di bangunan tinggi, ada 2 tingkatan yaitu Tenaga Kerja Bangunan Tinggi 1 dan 2. Sedangkan untuk kompetensi ketinggian Tenaga Kerja Pada Ketinggian Tingkat 1, 2 dan 3. Dalam kompetensi bekerja di bangunan tinggi, tidak memerlukan jenjang bertingkat, artinya pekerja tidak harus di mulai dari tingkat 1 untuk menuju tingkat 2.  Pekerja bisa langsung ke tingkat 2 jika pekerja diperuntukan untuk kerja sebuah perusahaan. Tingkat 1 dipergunakan untuk sektor non industri atau anggaplah pekerja lepas seperti tenaga borongan bangun rumah di rumah tangga atau pekerjaan yang bukan ikut suatu perusahaan. 

 

Sedangkan tugas dan tanggung jawab pekerja pada bangunan tinggi sesuai Permenaker No. 09 Tahun 2016 adalah bekerja pada lantai kerja tetap atau pada lantai kerja sementara dengan alat pelindung jatuh berupa jala, bantalan, atau tali pembatas gerak (work restraint), bergerak menuju dan meninggalkan lantai kerja tetap atau lantai kerja sementara dengan menggunakan tangga, Bergerak menuju dan meninggalkan lantai kerja tetap atau sementara secara horizontal atau vertical pada struktur bangunan, bekerja pada posisi atau tempat kerja miring, menaikkan dan menurunkan barang dengan sistem katrol, melakukan upaya pertolongan dalam keadaan darurat. Perangkat pelindung jatuh untuk pekerjaan di ketinggian terbagi menjadi 2 bagian terpisah yaitu bagian pertama perangkat pencegah jatuh kolektif dan perangkat pencegah jatuh perorangan sedangkan bagian kedua perangkat penahan jatuh kolektif dan perangkat penahan jatuh perorangan. Pada dasarnya pekerjaan pada bangunan tinggi banyak menggunakan alat pencegah jatuh baik perorangan maupun kolektif yang mampu menahan beban 15 Kilonewton, terpasang tali ganda (doubel lanyard) dengan peredam kejut yang panjang maksimal 1,8 meter serta mempunyai sistem penutup dan pengunci kait secara otomatis. Serta tali pembatas gerak (safe line) yang terikat kuat yang mampu menahan beban minimal 2 orang dewasa sekitar 250 Kg juga diperlukan. Biasanya sebelum memilih alat pelindung jatuh perseorangan di pekerjaan pada bangunan tinggi, perlu membuat analisa resiko terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan banyaknya sekali macam dan tipe fullbody harness yang ada di pasaran,  maka harus dapat memilih yang sesuai dengan karakteristik risiko di tempat kerja dan sesuai juga dengan standar yang berlaku. 

 

Pemakaian fullbody harnes standar dan sesuai regulasi di pekerjaan pada bangunan tinggi sebenarnya tidak wajib untuk dipakai oleh pekerja. Hal ini telah tercantum dalam Permenaker No. 09 Tahun 2016 pasal 25 yang dimaknai jika semua pasal sebelumnya terpenuhi (pasal 24), maka pekerja boleh tidak memakai fullbody harness. Sedangkan apabila fullbody harness disediakan sebagai bentuk jaga-jaga juga tentunya tidak masalah. Adapun fungsi fullbody harness yang utama adalah untuk penahan jatuh atau pencegah jatuh. Sedangkan pemilihan fullbody harness harus juga mempertimbangkan harga karena tergantung dengan fungsi, jenis material serta cara perawatannya. Dikarenakan hampir rata-rata fullbody harness untuk pencegah jatuh yang biasanya kebanyakan dipergunakan pada bangunan tinggi didesain bukan untuk dipakai berulang ulang terjatuh atau tergantung. Sedangkan terdapat beberapa perusahaan yang menerapkan standar prosedur nya apabila fullbody harness pernah dipakai atau mengalami jatuh dari ketinggian, maka sudah tidak layak dipergunakan lagi (bisa dilihat manual book produknya). Permenaker No. 09 Tahun 2016 menerapkan bahwa standart fullbody harness harus mampu menahan minimal 15 Kilonewton (rujukan standart EN 361) yang mempunyai titik penghubung di sternal atau dorsal (lebih baik minimal ada 2 D-ring ini sternal dan dorsal, makin banyak jumlah D-Ring makin bagus). Sedangkan pemilihan peletakan pun juga dari hasil penilaian resiko seperti jika pergerakan posisi vertikal maka di sarankan pengait yang dipakai sternal karena secara gravitasi jika pekerja terjatuh akan cenderung mengarah ke belakang. Dan sebaliknya diterapkan jika arah pergerakan ke arah horizontal yang di pergunakan dorsal. Apabila pekerja sering melakukan pergerakan vertikal dan bekerjanya secara vertikal pergunakan lateral untuk pemosisi kerja saat kerja untuk kebebasan bergerak. Pada pemakaian fullbody harness sebagai pencegah jatuh memiliki potensi terjadinya suspension trauma ketika pekerja terjatuh di ketinggian. Suspension trauma atau yang dapat disebut juga dengan istilah Orthostatic Intolerance atau Harness Hang Syndrome adalah cedera yang diakibatkan oleh tidak adanya pergerakan tubuh saat korban tergantung di body harness (setelah terjatuh) dalam posisi tegak (vertikal), sehingga dapat memberikan efek kehilangan kesadaran bahkan kematian pada korban. 

 

Periode serangan dari suspension trauma ini terbilang cepat dan tidak dapat diramalkan. Sebenarnya suspension trauma ini sangat berbahaya dikarenakan setelah pekerja terjatuh dan tergantung di fullbody harness, suspension trauma dapat menyerang korban dalam waktu lima menit. Apabila pertolongan tidak segera dilakukan dalam waktu 10 menit, korban akan kehilangan kesadaran dan dalam 15 menit kemungkinan besar korban akan meninggal dunia. Sindrom suspension trauma ini dapat terjadi tiba-tiba, tidak terduga, dan dapat mengakibatkan kematian. Terdapat beberapa gejala dari suspension trauma yaitu pertama tanda-tanda awal seperti sensasi panas pada tubuh, pusing, keringat dingin, nadi cepat, napas cepat, dan tanda syok lainnya, kedua kehilangan kesadaran dan ketiga kematian dapat terjadi dalam rentang waktu 10-30 menit, jika korban tidak segera diberi pertolongan. Adapun beberapa faktor lain juga bisa memperburuk kondisi korban di antaranya korban sulit menggerakkan kaki, cedera saat jatuh, kelelahan, kekurangan cairan, syok, gangguan pembuluh darah, gangguan sistem pernapasan, dan lain-lain. Adapun tindakan atau cara-cara untuk menolong pekerja yang terjatuh dan tergantung di fullbody harness antara lain seperti yang pertama, jika memungkinkan, petugas P3K atau tim penyelamat harus memberi bantuan pada 5-10 menit pertama setelah pekerja terjatuh. Kedua, jika tidak segera mendapat bantuan, pastikan korban selalu menggerakkan kaki dan angkat lutut hingga posisi duduk atau gunakan alat bantu, seperti suspension trauma safety strap. Ketiga, jika korban tidak sadar, jaga agar jalan napas selalu terbuka. Keempat, selama pertolongan pertama diberikan, jangan membaringkan korban di lantai atau di atas tandu. Apabila korban langsung dibaringkan, hal ini akan memicu terjadinya reflow syndrome, dan akan ada aliran darah yang tiba-tiba mengalir ke otak dan jantung dan bisa mengakibatkan kematian pada korban. Kelima, jaga korban dalam posisi duduk selama kurang lebih 30 menit. Terakhir, setiap korban yang pingsan atau mengalami suspension trauma lebih dari 10 menit, harus segera dibawa ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. Agar dapat menghindari suspension trauma ini sebaiknya pekerja dibekali dengan peralatan tambahan seperti foot loop, suspension trauma safety step, tape line serta diajarkan untuk penggunaanya dan juga sering dilakukan latihan, sering sekali pekerja panik dan lupa dalam pemasangannya pada saat posisi terjatuh padahal dengan peralatan yang adapun bisa juga di manfaatkan seperti webbing, alat pemosisi kerja juga bisa beralih fungsi sebagai alat petolongan ini, atau membekali dengan tali karmantel yang sudah di simpul sebelumnya. 

 

Hal lain yang perlu diperhatikan selain fullbody harness juga harus ada tali ganda (lanyard) dengan pengait dan peredam kejut yang panjangnya maksimal 1,8 meter, atau bisa di ganti dengan tali tarik ulur otomatis (rectratable atau yoyo) yang akan otomatis terkunci jika pekerja jatuh maksimal 60 cm. Pada pemakaian lanyard atau tali penahan jatuh  tidak diperkenankan diposisi lain selain sternal dan dorsal. Sebenarnya pemasangan lanyard ini pun juga diatur di Permenaker No. 09 Tahun 2016 seperti tali life line yang terpasang harus mampu menahan beban orang yang terkait di tali tersebut (pasal 18 ayat 3). Angkur lanyard harus ditambatkan diatas kepala atau minimal sejajar dengan dada hal terkait dengan fall factor,  pengait tidak di tambatkan pada struktur yang dapat menambah jarak jatuh, pada struktur yang berbeda, dan yang harus di ingat panjang life line tidak boleh lebih dari 30 meter dan sudut deviasi maksimum dari garis lurus vertikal tidak lebih dari 15 derajad. 

 

Pada intinya yang perlu di ingat ketika melakukan pekerjaan di ketinggian adalah analisa terlebih dahulu pekerjaan tersebut, siapkan tim gawat darurat yang selalu siaga dan bisa melakukan penyelamatan dalam keadaan darurat, serta yang terpenting adalah semua harus dilakukan oleh orang yang berkompeten di bidangnya, kompeten yang dimaksud disini adalah yang sudah tersertifikasi secara legal oleh Kemenaker Republik Indonesia. 

 

Semoga Bermanfaat.