Selama periode tahun 2010-2011 jumlah pekerja yang mengalami kecelakaan kerja di Kabupaten Gresik, Jawa Timur mencapai angka 1.037 kasus. Kecelakaan tersebut tidak hanya terjadi di lingkungan perusahaan, namun juga terjadi di jalan raya saat mereka akan berangkat bekerja. Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gresik, Eddy Purwanto, menjelaskan penyebab kecelakaan kerja karena faktor perilaku dan kondisi lingkungan kerja yang tidak aman. Risiko dapat muncul selama perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan pada saat bekerja di perusahaan masing-masing. Upaya membudayakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di perusahaan sagatlah penting yang bertujuan untuk mengurangi angka kecelakaan kerja dan penyakit akaibat kerja. 

Sedangkan Wakil Bupati Gresik, Mohammad Qosim, juga menjelaskan setidaknya ada 34 perusahaan yang mendapatkan penghargaan kecelakaan nihil (Zero Accident Award) di tahun 2011, meningkat dua kali lipat lebih dibanding tahun sebelumnya sebanyak 14 perusahaan. Penghargaan pemerintah itu diharapkan memberikan motivasi kepada perusahaan- perusahaan agar meningkatkan pembinaan dan pelaksanaan prinsip-prinsip dasar K3. Prinsip dasar K3 itu bertujuan untuk mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja serta penyakit akibat kerja di tempat masing-masing. Katanya kepada Kompas.com, Senin (5/3/2012), Gresik, dalam seminar Peningkatan Fungsi K3 di Perusahaan dalam rangka Menyongsong Berdudaya K3 di Tahun 2015. 

Sejarah ilmu Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) diawali dengan munculnya perkembangan industri dalam skala besar. Pada masa lalu, alat-alat kerja sangat sederhana sehingga kecelakaan kerja pun relatif lebih kecil. Namun, pada saat ini alat-alat produksi sudah semakin canggih dan rumit sehingga memperbesar risiko terjadinya kecelakaan kerja. Hal inilah yang kemudian mengembangkan keilmuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) hingga seperti sekarang. Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah ilmu dan seni yang terdiri dari serangkaian metoda-metoda dalam melakukan intervensi terhadap sistem kerja sehingga menjamin keamanan dan kesehatan setiap sistem kerja yang dijalankan baik bagi pekerja, peralatan, maupun bagi lingkungan (Modjo, 2009). 

Perlu diketahui bahwa perkembangan K3 di Negara Indonesia sesungguhnya baru dirasakan beberapa tahun setelah kemerdekaan, yaitu pada saat munculnya Undang-Undang Kerja dan Undang-Undang Kecelakaan, meskipun awalnya belum berlaku, namun di dalamnya sudah memuat pokok-pokok tentang K3. Pada tahun 1967 Departemen Perburuhan mendirikan lembaga Kesehatan Buruh yang kemudian pada tahun 1965 berubah menjadi Lembaga Keselamatan dan Kesehatan Buruh. Pada tahun 1966 didirikan Lembaga Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja di Departemen Tenaga Kerja dan Dinas Higiene Perusahaan atau Sanitasi Umum dan Dinas Kesehatan Tenaga Kerja di Departemen Kesehatan. Disamping itu juga tumbuh organisasi swasta yaitu Yayasan Higiene Perusahaan yang berkedudukan di Surabaya. Untuk selanjutnya organisasi Hiperkes (Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja) yang ada di Pemerintah dari tahun-ketahun selalu mengalami perubahan-perubahan. 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan K3 di Negara Indonesia berjalan bersama-sama dengan pengembangan kesehatan kerja, yaitu selain melalui institusi juga dilakukan melalui upaya-upaya penerbitan buku-buku, majalah, leaflet K3, spanduk-spanduk dan poster. Kegiatan K3 lainnya yang dilakukan adalah seperti seminar K3, konvensi, lokakarya, bimbingan terapan K3 yang diadakan secara berkala dan terus menerus. Salah satu organisasi K3 di Indonesia adalah Asosiasi Hiperkes dan Keselamatan Kerja (AHKKI) yang memiliki cabang diseluruh Provinsi di Indonesia dengan kantor pusat berada di Jakarta. Program pendidikan keahlian K3 juga dilaksanakan baik dalam bentuk mata kuliah pendidikan formal yang diberikan pada beberapa jurusan di Perguruan Tinggi dan diberikan dalam bentuk In formal berupa kursus-kursus keahlian K3. 

Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang telah populer dengan sebutan K3 atau OSH, dewasa ini implementasinya telah menyebar secara luas di hampir semua vektor industri. OSH secara filosofi didefinisikan sebagai upaya dan pemikiran untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohaniah diri manusia pada umumnya dan tenaga kerja pada khususnya beserta hasil karyanya dalam rangka menuju masyarakt yang adil, makmur, dan sejahtera. Secara keilmuan, K3 didefinisikan sebagai ilmu dan penerapannya secara teknis dan teknologis untuk setiap pekerjaan yang dilakukan. Dan dari sudut pandang ilmu hukum, K3 didefinisikan sebagai suatu upaya perlindungan agar setiap tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja senantiasa dalam keadaan yang sehat dan selamat serta sumber proses produksi dapat dijalankan secara aman, efisien dan produktif. 

Di Negara Indonesia ketentuan tentang arti dari bendera K3 diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. Kep.1135/MEN/1987 tentang Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Bendera K3 ini biasanya dikibarkan di depan perusahaan ataupun tersebar dalam berbagai publikasi terkait program-program keselamatan dan kesehatan kerja. Sedangkan bentuk dari lambang K3 berupa palang dilingkari dengan roda bergigi berjumlah sebelas yang berwarna hijau di atas dasar warna putih. Arti dan makna dari lambang K3 itu sendiri adalah palang yang berarti bebas dari kecelakaan dan sakit akibat kerja. Roda gigi berarti bekerja dengan kesegaran jasmani dan rohani. Warna putih yang memiliki arti bersih, suci dan warna hijau berarti selamat, sehat serta sejahtera. Sedangkan makna dari sebelas gerigi roda adalah 11 Bab yang ada di dalam Undang-Undang no.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. 

Lambang K3 tersebut akan menjadi pengingat bahwa kesehatan dan keselamatan kerja merupakan bagian yang sangat penting dalam menjalankan aktivitas pekerjaan sehari-hari, sehingga akan tercipta budaya K3 yang baik di dalam perusahaan atau organisasi, karena betapapun pentingnya pekerjaan tetap harus mementingkan juga keselamatan kerja, sebab apabila terjadi kondisi tidak aman, hal ini akan merugikan karyawan itu sendiri, perusahaan dan customer.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, tujuan dari K3 adalah untuk mencegah terjadinya sakit atau kecelakaan dikarenakan pekerjaan. Dalam penerapan K3 di lingkungan perusahaan atau organisasi terdapat tiga tujuan utama dalam pelaksanaannya berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1970, yaitu untuk melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja. Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien. Dan untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas Nasional. Dari penjelasan tujuan penerapan K3 tersebut, maka diharapkan terdapat harmonisasi dalam penerapan K3 di tempat kerja antara pengusaha, tenaga kerja dan pemerintah. Sehingga di masa yang akan datang penerapan K3 di Indonesia dapat dilaksanakan secara nasional dan seluruh masyarakat akan sadar serta memahami mengenai pentingnya K3 dalam kegiatan sehari-hari baik di tempat kerja maupun di lingkungan tempat tinggal. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja harus diterapkan di semua tempat kerja. 

Selain memiliki tujuan, penerapan K3 juga memiliki fungsi yang begitu banyak dan pastinya bermanfaat baik bagi pekerja maupun perusahaan. Beberapa fungsi K3 secara umum, seperti menjadi pedoman dalam melakukan identifikasi dan penilaian akan adanya risiko serta bahaya bagi kesehatan dan keselamatan di lingkungan kerja. Membantu memberi saran untuk perencanaan, desain tempat kerja, proses organisir, serta pelaksanaan kerja. Menjadi pedoman dalam membuat desain pengendalian bahaya, prosedur, metode dan juga program. Menjadi pedoman untuk memantau kesehatan serta keselamatan para pekerja di area lingkungan kerja. Dan memberikan saran tentang informasi, edukasi serta pelatihan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja. Serta sebagai acuan untuk mengukur keefektifan tindakan dan program pengendalian bahaya. 

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1970, ruang lingkup K3 meliputi segala tempat kerja baik di darat, air dan udara yang berada dalam wilayah Negara Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang tersebut ruang lingkup K3 dalam pelaksanaannya ditentukan oleh 3 unsur, yaitu tempat kerja merupakan tempat yang digunakan untuk melakukan suatu kegiatan usaha dan tenaga kerja merupakan seseorang yang melakukan pekerjaan untuk keperluan usaha serta sumberdaya bahaya merupakan suatu hal yang dapat berpotensi untuk menyebabkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Faktor-faktor dari sumber bahaya, seperti faktor biologi, kimia, fisik, biomekanik dan sosial-psikologi. 

Dalam penerapan K3 juga memiliki banyak peranan di lingkungan kerja. Peran-peran tersebut, seperti setiap tenaga kerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan untuk kesejahteraan hidup serta meningkatkan produksi. Setiap orang yang berada di lingkungan kerja harus dijamin keselamatannya. Dan semua sumber produksi harus digunakan secara aman dan efisien. Serta tindakan antisipatif adalah sebuah keharusan dari perusahaan sebagai upaya dalam mengurangi risiko terjadinya kecelakaan serta penyakit karena kerja. Dari penerapan sebuah sistem pastinya terdapat sasaran yang akan dituju termasuk dalam penerapan K3 di lingkungan kerja terdapat sasaran yang dituju, seperti K3 harus menjamin keselamatan para karyawan atau pekerja di lingkungan kerja dan menjamin keamanan alat yang digunakan pada proses produksi serta menjamin proses produksi menjadi lebih aman dan lancar. 

Setiap perusahaan atau organisasi tentu memiliki visi dan misi yang menjadi landasan spiritual dan landasan moral untuk mencapai tujuan perusahaan. Aspek K3 seharusnya menjadi bagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu perusahaan yang peduli terhadap aspek keselamatan. Keberhasilan penerapan K3 dalam sebuah perusahaan ditentukan oleh empat faktor yang disebut 4P, yaitu Philosophy, Policy, Prosedures dan Practices. K3 harus didasarkan adanya landasan filosofi K3 yang kuat dari manajemen dan semua unsur yang terkait dengan visi dan nilai-nilai yang dimiliki perusahaan. K3 harus menjadi filosofi (Philosophy) dasar perusahaan dalam menjalankan bisnisnya, bukan semata untuk mencari keuntungan. Selanjutnya, diperlukan juga adanya kebijakan (policy) dari manajemen puncak untuk memberikan arahan berkaitan dengan K3. Kebijakan saja belum menjamin bahwa K3 dilaksanakan dengan baik. Untuk itu, diperlukan adanya prosedur (procedures) yang menjadi landasan operasional dari penerapan K3 diperusahaan. Namun demikian, walaupun perusahaan telah memiliki prosedur lengkap tidak akan berguna jika tidak dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan (practices). 

Menurut International Association of Safety Professional (IASP), yang merupakan asosiasi ahli keselamatan sedunia yang bermarkas di USA. Filosofi K3 dibagi menjadi 8, yaitu keselamatan adalah tanggung jawab moral. Keselamatan merupakan budaya bukan sekedar program. K3 adalah tanggung jawab manajemen. Pekerja harus diberi pelatihan (dibina) untuk bekerja dengan aman. K3 merupakan cerminan kondisi ketenagakerjaan. Semua kecelakaan dapat dicegah. Dan program K3 bersifat spesifik serta K3 baik untuk bisnis. 

Dalam penerapan K3 di perusahaan perlu diketahui juga pemahaman tentang kewajiban dan hak dari pengurus dan tenaga kerja. Dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, Pasal 12, mengatur tentang kewajiban dan hak bagi tenaga kerja sementara Pasal 14 mengatur kewajiban pengurus. Pada Pasal 12 dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1970, menyebutkan bahwa kewajiban dan hak bagi tenaga kerja adalah memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai atau pengawas keselamatan kerja. Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan. Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan. Dan menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat kesehatan dan keselamatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung jawabkan. 

Sedangkan pada Pasal 14 undang-undang nomor 1 Tahun 1970, menyebutkan bahwa kewajiban bagi pengurus adalah secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai Undang-Undang nomor 1 Tahun 1970 dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan pada tempat tempat yang mudah dilihat dan terbaca serta menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja. Dan menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja. 

Semoga dengan pemahaman di atas tentang dasar-dasar K3 seperti sejarah, tujuan, fungsi, ruang lingkup di lingkungan kerja dan lain sebagainya, diharapkan pekerja dan pengusaha menjadi lebih peduli dengan K3 di lingkungan tempat kerja dan lebih memprioritaskan K3 diperusahaan. Sebab ketika penerapan K3 dilaksanakan dengan baik dan konsisten, maka operasional perusahaan juga dapat berjalan dengan lebih baik dan maksimal. Penerapan K3 juga harus dipahami dalam 2 dimensi, yaitu dimensi lagging dan leading, sehingga K3 tidak semata-mata hanya dilihat pada angka statistik kecelakaan di akhir saja, namun juga dilihat dari input atau proses dalam penerapan dilapangan. 

Semoga Bermanfaat.