Suara.com menuliskan berita tentang Pekerja atau buruh dan tenaga kerja yang mengalami Penyakit Akibat Kerja (PAK) karena Covid-19 berhak atas manfaat program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini tercantum dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor M/8/HK.04/V/2020 tentang Perlindungan Pekerja atau Buruh Dalam Program Jaminan Kecelakaan Kerja Pada Kasus Penyakit Akibat Kerja Karena Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Business man is stressed from work , business concept Free Photo

SE tertanggal 28 Mei 2020, yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah ini ditujukan kepada para gubernur se-Indonesia dengan mempertimbangkan banyaknya kasus pekerja atau buruh yang terinfeksi Covid-19, dan beberapa di antaranya meninggal dunia. Terbitnya SE ini didasarkan pada Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja. Covid-19 dapat dikategorikan sebagai PAK dalam klasifikasi penyakit yang disebabkan faktor yang timbul dari aktivitas pekerjaan, yaitu kelompok faktor pajanan biologi. “Untuk itu, pekerja atau buruh dan tenaga kerja yang mengalami Penyakit Akibat Kerja (PAK) karena Covid-19 berhak atas manfaat program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” katanya, Jakarta, Senin (1/6/2020).

 

Penyakit Akibat Kerja (PAK) harus dikendalikan secara kolektif di tempat kerja. PAK dapat mengancam seluruh pekerja di mana tempat dia bekerja. PAK dapat muncul di berbagai macam jenis perusahaan, seperti perusahaan kilang minyak, tambang, hutan, pabrik dan bahkan di perkantoran sekalipun. Menurut Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2019, Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit akibat kerja (Occupational Diseases) adalah penyakit yang mempunyai penyebab spesifik atau asosiasi kuat dengan pekerjaan yang menjadi penyebab utama, terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui (evidance based data). 

 

Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Work Related Disease) adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, di mana faktor pekerjaan memegang peranan penting bersama dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya penyakit. Untuk penyakit akibat kerja ataupun Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dalam penggolongannya dijadikan satu menjadi penyakit akibat kerja. Penyakit diperberat oleh pekerjaan atau penyakit yang mengenai populasi pekerja (Disease affecting working population) adalah penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya agen penyebab di tempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi lingkungan pekerjaan yang buruk bagi kesehatan. Penyakit yang bukan termasuk dalam penyakit akibat kerja umumnya masuk dalam golongan penyakit umum yang ada pada masyarakat umum dan pajanan tidak menyebabkan terjadinya penyakit akibat kerja. 

 

PAK sudah menjadi masalah bagi dunia. WHO Global Burden Disease adalah satu-satunya sumber data yang mengjangkau semua penyakit di dunia. Laporan tersebut mengelompokkan penyakit menjadi beberapa kategori, seperti penyakit menular, neoplasma malignan, penyakit peredaran darah, konidisi neuropsikiatri, penyakit saluran pernapasan, penyakit saluran pencernaandan penyakit genitourinary. WHO juga sudah mengelompokkan area-area di dunia dalam laporannya terkait dengan kecelakaan dan penyakit akibat kerja menjadi istilah-istilah, seperti (HIGH) High income countries. (AFRO) Low- and middle-income countries of the African Region. (AMRO) Low- and middle-income countries of the Americas. (EMRO) Low- and middle-income countries of the Eastern Mediterranean Region. (EURO) Low- and middle-income countries of the European Region. (SEARO) Low- and middle-income countries of the South-East Asia Region. (WPRO) Low- and middle-income countries of the Western Pacific Region

 

Menurut Hamalainen 2017, dalam laporannya yang berjudul “Global Estimates of Occupational Accidents and Work Related Illnesses 2017”, menyebutkan bahwa kematian karena penyakit akibat kerja telah menjadi perhatian tersendiri sejak tahun 1998 karena kematian akibat penyakit akibat kerja menjadi 5 kali lebih besar dari pada kematian yang terjadi karena kecelakaan kerja. Pada tahun 2015, sebanyak 2.4 juta kematian terjadi karena penyakit akibat kerja. Jumlah ini meningkat 0.4 juta, jika dibandingkan dengan 2011. Secara total, 7500 orang meninggal setiap harinya dengan 1000 orang dengan kecelakaan kerja dan 6500 dari penyakit akibat kerja. Hamalainen (2017) juga melaporkan sebanyak 31% kematian akibat kerja disebabkan oleh penyakit peredaran darah (circulatory disease), 26% oleh kanker akibat kerja, 17% akibat penyakit pernapasan pada tahun 2015. Dari jumlah itu, hanya 14% nya yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja. 

 

Penyebaran jenis penyakit kerja pada masing-masing regional sangatlah bervariasi. Sebagai contoh, SEARO yang merupakan regional tempat Indonesia berada memiliki kasus penyakit saluran peredaran darah dan penyakit pernafasan yang hampir sama. Sedangkan, regional AFRO malah mencatatkan penyakit menular (communicable disease) yang lebih banyak dari pada penyakit yang lainnya. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memiliki metode sendiri untuk membagi regional. Dari regional yang ada, Asia menjadi regional yang memiliki angka kematian akibat kerja tertinggi di antara 5 regional. Sekitar 2/3 kematian akibat kerja terjadi di Asia. Pemakaian zat kimia yang semakin banyak dipakai membuat risiko terkait dengan zat kimia juga meningkat. 

 

Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), perkiraan terbaru bahwa 2,78 juta pekerja meninggal setiap tahun karena kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Sekitar 2,4 juta (86,3 %) dari kematian ini dikarenakan penyakit akibat kerja. Data penyakit akibat kerja di Indonesia bisa dibilang masih sangat terbatas. Data cukup lengkap terkait dengan penyakit akibat kerja dapat diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI tahun 2015. Dari sekian banyak kasus penyakit akibat kerja penyakit tidak menular menjadi sorotan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Obesitas sentral dan hipertensi menjadi penyakit tidak menular di tempat kerja dengan prevalensi terbanyak. Sementara pada Profil Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang disusun oleh tim dari Kementerian Tenaga Kerja menyebutkan bahwa untuk kasus penyakit akibat kerja (occupational accident) yang diberikan JKK sesuai data tersebut di atas masih sangat sedikit, yaitu rata-rata hanya 25 kasus pertahun. Hal ini menunjukan bahwa perlindungan K3 di Indonesia masih lebih banyak pada perlindungan pekerja dari kasus kecelakaan kerja dan masih sangat kurang dalam perlindungan pekerja dari PAK. 

 

Jenis penyakit akibat kerja menurut Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja dibagi menjadi beberapa klasifikasi, seperti penyakit yang disebabkan pajanan faktor yang timbul dari aktivitas pekerjaan, penyakit berdasarkan sistem target organ, penyakit kanker akibat kerja dan penyakit spesifik lainnya yang merupakan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau proses kerja dimana penyakit tersebut ada hubungan langsung antara paparan dengan penyakit yang dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan metode yang tepat. 

 

Diagnosis PAK menjadi challenge tersendiri karena ada faktor perancunya. Sebuah low back pain yang terjadi pada pekerja bisa saja tidak diakibatkan oleh pekerjaannya akan tetapi diakibatkan oleh aktivitas di rumah karena dia pedagang air galon dan tabung gas. Hal tersebut sangat berbeda dengan kecelakaan kerja karena akibat dari kecelakaan kerja itu langsung terjadi sehingga kita bisa langsung menilai apakah kecelakaan tersebut digolongkan sebagai kecelakaan kerja atau bukan. Pada Perpres nomor 7 Tahun 2019 Pasal 3, menyebutkan bahwa diagnosis menderita Penyakit Akibat Kerja berdasarkan surat keterangan dokter sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 2 ayat (l), merupakan diagnosis jenis Penyakit Akibat Kerja yang dilakukan oleh dokter atau dokter spesialis yang berkompeten di bidang kesehatan kerja. Ketentuan lebih jelas terkait dengan diagnosis penyakit terdapat pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja. 

 

Terdapat beberapa langkah dalam diagnosis penyakit yang harus ditegakkan sebelum memutuskan apakah suatu penyakit masuk kategori penyakit akibat kerja atau tidak. Langkah-langkah dalam diagnosis penyakit tersebut adalah menegakkan diagnosis klinis, menentukan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja, menentukan hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis, menentukan besarnya pajanan, menentukan faktor individu yang berperan, menentukan pajanan di luar tempat kerja dan menentukan diagnosis penyakit akibat kerja. Dalam pengendalian PAK dapat menerapakan prinsip (AREP) yaitu antisipasi, rekognisi, evaluasi dan pengendalian. Pengertian dari prinsip antisipasi adalah kegiatan memprediksi potensi bahaya yang ada di tempat kerja. Tujuan dalam tahap antisipasi adalah mengetahui potensi bahaya dan risiko lebih dini sebelum muncul menjadi bahaya dan risiko yang nyata, mempersiapkan tindakan yang perlu sebelum suatu proses dijalankan atau suatu area dimasuki, meminimalisasi kemungkinan risiko yang terjadi pada saat suatu proses dijalankan atau suatu area dimasuki. 

 

Kunci dalam tahapan antisipasi adalah informasi. Contoh informasi yang diperlukan antara lain adalah karakteristik bangunan tempat kerja, mesin yang digunakan, proses kerja, bahan baku, alat yang dipakai dan cara kerja yang dilakukan atau jumlah dan karakteristik pekerja. Fokus dari semua informasi ini adalah diketahuinya potensi bahaya serta risiko baik untuk kesehatan ataupun keselamatan kerja. Tahapan melakukan antisipasi terdiri dari 3 langkah. Langkah pertama merupakan pengumpulan informasi melalui studi literatur, penelitian terkait, dokumen perusahaan, survey lapangan, legislasi yang berlaku, ataupun pengalaman-pengalaman pda masa lalu. Langkah selanjutnya adalah analisis dan diskusi dengan pihak yang terkait yang berkompeten. Tahap terakhir yaitu pembuatan hasil dari antisipasi. Hasil dari tahap antisipasi merupakan daftar potensi bahaya dan risiko. Daftar tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan lokasi atau unit, kelompok pekerja, jenis potensi bahaya ataupun tahapan proses produksi. 

 

Prinsip tahapan rekognisi merupakan serangkaian kegiatan untuk mengenali suatu bahaya lebih detil dan lebih komprehensif dengan menggunakan suatu metode yang sistematis sehingga dihasilkan suatu hasil yang objektif dan bisa dipertanggungjawabkan. Pada tahap rekognisi dapat dilakukan pengukuran untuk mendapatkan informasi tentang konsentrasi, dosis, ukuran (partikel), jenis, kandungan atau struktur serta sifat. Tujuan tahapan rekognisi adalah mengetahui karakteristik suatu bahaya secara detil (sifat, kandungan, efek, severity, pola pajanan, besaran, dan lain-lain), mengetahui sumber bahaya dan area yang berisiko, mengetahui proses kerja yang berisiko, dan mengetahui pekerja yang berisiko. Apabila di tahapan antisipasi hanya memprediksi bahaya, maka di tahap rekognisi ini sudah harus mengetahui detail terkait dengan bahaya serta risiko yang ada. 

 

Metode yang dapat dilaksanakan dalam tahapan rekognisi adalah menyelidiki laporan kecelakaan, melakukan pemeriksaan fisik tentang kondisi kesehatan pekerja, memberikan kesempatan kepada pekerja untuk memberi tahu manajemen ketika ada bahaya, inspeksi, studi literatur dan diskusi dengan profesional yang lain, pengukuran dengan alat dan laboratorium, preliminary hazard analysis untuk sistem oprasi baru dan (JSA) job safety analysis. 

 

Pengertian dalam prinsip evaluasi adalah proses pengambilan keputusan yang melibatkan penilaian bahaya kepada pekerja dari pajanan terhadap zat kimia, bahaya fisik dan agen biologis. Tindakan yang diambil untuk melindungi pekerja berdasarkan kombinasi dari observasi, interview dan pengukuran dari energi atau kontaminan udara yang muncul dari proses atau operasi kerja serta efektifitas dari tindakan pengendalian yang dipakai. Kebutuhan untuk mengevaluasi bahaya didorong dari pengetahuan bahwa zat kimia, agen biologis, dan elemen fisika dapat menyebabkan luka, penyakit serta kematian dini pada kalangan pekerja yang terpajan. Biro Statistik Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat melaporkan 6.2 juta luka terkait dengan pekerjaan dan penyakit pada industri swasta tahun 1997. Jumlah yang sebenarnya dapat lebih besar karena banyak penyakit akibat kerja tidak dapat dikenali, banyak luka dan penyakit tidak dilaporkan dan kejadian di tempat publik tidak termasuk dalam perhitungan. 

 

Pada prinsip pengendalian bahaya dalam higiene industri memiliki tujuan untuk memastikan bahwa pekerja yang terpapar stress dari zat kimia berbahaya dan agen fisika tidak menjadi ppekerja dengan penyakit akibat kerja. Jumlah yang perlu diukur adalah konsentrasi atau intensitas dari bahaya umum serta durasi dari pajanan. Prinsip-prinsip dalam pengendalian bahaya antara lain adalah semua bahaya dapat dikendalikan, terdapat banyak pilihan metode untuk mengendalikan bahaya, beberapa metode lebih baik dari yang lain, dan beberapa situasi membutuhkan lebih dari 1 metode pengendalian untuk menjamin hasil yang optimal. 

 

Metode pengendalian bahaya dapat mengambil prinsip dalam hierarki pengendalian bahaya, seperti rekayasa teknik untuk pengendalian bahaya dengan melakukan modifikasi pada faktor lingkungan kerja selain pekerja, pengendalian administrative sebagai pengendalian bahaya dengan melakukan modifikasi pada interaksi pekerja dengan lingkungan kerja dan Alat Pelindung Diri (APD) untuk pengendalian bahaya dengan cara memberikan alat perlindungan yang digunakan oleh pekerja pada saat bekerja. 

 

Tidak seperti kecelakaan kerja yang dapat terlihat dengan jelas bukti terjadinya, penyakit akibat kerja (PAK) tidaklah terlihat dengan jelas buktinya. Pekerja yang mengalami PAK akan merasakan masalah kesehatan akibat pekerjaan dan lingkungan kerja setelah jangka waktu yang panjang. Maka dari itu, baik pengurus, dokter perusahaan, maupun pekerja harus benar-benar memahami segala hal dan regulasi tentang PAK. Penegakan diagnosis spesifik dan sistem pelaporan PAK penting dilakukan agar dapat mengurangi PAK yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. 

 

Semoga Bermanfaat.