Api telah melalap habis empat rumah di Kampung Bungbulang, Desa Cijangkar, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, sekitar pukul 14.05 WIB, Jumat (16/4/2021). Berdasarkan informasi dari petugas P2BK di lapangan, bencana kebakaran tersebut dipicu tungku api yang ditinggal pergi oleh penghuni dari salah satu rumah sehingga mengakibatkan 4 rumah panggung disekitarnya yang dihuni 4 KK 16 jiwa juga ikut habis terbakar, kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi, Anita Mulyani kepada detik.com. 

1 Dead In California Fire, As Lightning-Strike Fires Push Resources To  Limit : NPR

Pemahaman tentang prinsip dasar terbentuknya api dimulai dari bagaimana api terjadi, kemudian menyebar sehingga menyebabkan terjadinya kebakaran yang merupakan bagian penting dalam memahami potensi bahaya kebakaran. Pengertian dari api adalah suatu reaksi kimia (oksidasi) cepat yang terbentuk dari 3 (tiga) unsur, yaitu panas, oksigen dan bahan mudah terbakar yang menghasilkan panas dan cahaya.  Reaksi kimiawi oksidasi-reduksi yang menghasilkan panas (eksotermik) melibatkan oksidator (umumnya oksigen), reduktor (bahan bakar) yang menghasilkan panas atau energi (Center for Chemical Process Safety, 2003). Sedangkan pengertian kebakaran itu sendiri adalah ketika api yang terbentuk mulai tidak terkendali dan menghasilkan reaksi oksidasi-reduksi serta menghasilkan panas (eksotermik) secara terus-menerus. Nyala api baik kecil maupun besar pada suatu tempat dan di situasi atau waktu yang tidak dikehendaki yang bersifat merugikan dan pada umumnya sulit untuk dikendalikan. Kebakaran juga termasuk dalam salah satu kategori kondisi atau situasi darurat di lingkungan perusahaan baik dari luar maupun dalam lokasi tempat kerja. 

 

Menurut Center for Chemical Process Safety (2003), terdapat tiga teori api yang dapat menjelaskan tentang bagaimana terjadinya nyala api, ketiga teori tersebut adalah teori segitiga api (fire triangle), teori tetrahedron api (fire tetrahedron), siklus api (life cycle of fire). Teori segitiga api (fire triangle), dalam teori ini dijelaskan bahwa api dapat terjadi jika terdapat tiga komponen dasar yaitu bahan bakar (fuel), oksigen atau oksidator dan sumber panas atau iginisi (heat). Ketiga komponen tersebut diibaratkan seperti tiga sisi dari sebuah segitiga. Jika masing-masing sisinya tidak menyentuh satu dengan yang lainnya, maka tidak akan terbentuk segitiga api. Api tidak dapat terbentuk tanpa salah satu komponen tersebut. Oleh sebab itu, menghilangan salah satu komponen dari komponen segitiga api merupakan prinsip proses pencegahan kebakaran dan pemadaman api. Pencegahan dan pemadaman api dapat dilakukan dengan menghilangkan bahan bakar. Jika tidak dapat dilakukan karena terlalu banyak sumber bahan bakar, pencegahan dan pemadaman api dapat dilakukan dengan menghilangkan sumber panas. Cara lain untuk mencegah dan memadamkan kebakaran adalah dengan menghalangi atau menghentikan suplai oksigen dengan cara memberikan foam atau penambahan gas inert. Menurut Davletshina dan Cheremisinoff (1998), pada perkembangan selanjutnya teori fire triangle mengalami sedikit pembaruan. Oksigen diperbaharui dengan oksidator untuk menghindari anggapan bahwa sumber oksigen untuk terjadinya api hanya bersumber dari atmosfer. Selain itu, walaupun oksigen merupakan oksidator yang umum ditemui, namun oksidator bukan hanya oksigen. Panas diperbarui dengan energi karena panas hanya salah satu bentuk energi. Sementara itu, yang dibutuhkan untuk terjadinya kebakaran adalah energi. Oleh karena itu, teori fire triangle yang terbaru terdiri atas bahan bakar (fuel), oksidator, dan energi. 

 

Teori tetrahedron api (fire tetrahedron), merupakan pembaruan dari teori segitiga api dengan adanya satu komponen tambahan untuk menunjang terjadinya api, yaitu reaksi kimia berantai. Teori ini menyatakan bahwa ketika energi diberikan pada bahan bakar seperti hidrokarbon, beberapa ikatan karbon dengan karbon terputus dan menghasilkan radikal bebas. Sumber energi tersebut memberikan energi untuk memutus rantai karbon dengan hidrogen sehingga menghasilkan radikal bebas yang lebih banyak. Rantai oksigen dengan oksigen juga terputus dan menghasilkan radikal oksida. Penggabungan radikal bebas dengan radikal bebas lainnya atau dengan gugus fungsi terjadi jika jarak antarradikal bebas cukup dekat. Pada proses pemutusan rantai terjadi pelepasan energi yang kemudian energi yang terlepas tersebut akan menjadi sumber energi untuk memutuskan rantai lainnya dan melepaskan lebih banyak energi. Kebakaran terjadi secara berantai dengan melepaskan lebih banyak energi lagi yang kemudian disebut sebagai reaksi berantai. Proses tersebut baru akan terhenti jika bahan bakar telah habis terbakar, oksigen telah habis, energi telah diserap atau reaksi rantai terputus (Center for Chemical Process Safety, 2003). 

 

Siklus api (life cycle of fire), teori ini menyatakan bahwa proses pembakaran terjadi dalam enam tahapan, yaitu masukan atau input (heat), bahan bakar (fuel), oksigen, pencampuran (proportioning, pencampuran (mixing), keberlanjutan penyalaan (ignition continuity). Menurut Davletshina dan Cheremisinoff (1988) dalam siklus api (life cycle of fire) terdapat tiga tahap awal yang sama dengan komponen yang terdapat di dalam segitiga api, yaitu panas, bahan bakar, dan oksigen. Tahap pertama dalam siklus api adalah masuknya panas (input heat), yaitu sejumlah panas yang dibutuhkan untuk melepaskan uap dari padatan atau cairan serta sebagai sumber penyalaan (ignition source). Panas yang masuk harus cukup untuk memproduksi uap yang dibutuhkan dalam menyusun campuran yang dapat menyala (ignitable mixture) dengan udara dekat sumber bahan bakar secara terus-menerus. Oleh karena itu, panas yang masuk harus sesuai dengan temperatur penyalaan (ignition temperature) bahan bakar. Tahap kedua adalah bahan bakar (fuel), yang pada dasarnya sama dengan konsep bahan bakar pada fire triangle atau tetrahedron of fire. Bahan bakar harus pada susunan yang sesuai untuk terbakar, yaitu bahan bakar sudah menguap atau jika pada logam hampir seluruh potongan telah mencapai temperatur yang sesuai untuk memulai pembakaran. Tahap ketiga adalah oksigen, teori ini hanya menyangkut oksigen di atmosfer serta mengabaikan oksigen dan halogen yang dihasilkan dari oksidator. Hal tersebut terjadi karena pusat dari teori ini adalah penyebaran api (diffusion flame) di mana api (flame) dihasilkan dari campuran spontan dari uap atau gas bahan bakar dengan udara. 

 

Tahap keempat merupakan persentuhan (proportioning) atau peristiwa benturan antara oksigen dan molekul bahan bakar. Kecepatan molekul dan jumlah benturan bergantung pada panas dari campuran oksigen dan bahan bakar, jika campuran lebih panas kecepatan lebih tinggi. Hal tersebut sesuai dengan hukum dalam kimia yang menyatakan bahwa kecepatan reaksi kimia menjadi dua kali lipat untuk setiap peningkatan temperatur sebesar 18oF (10oC). Tahap kelima adalah pencampuran (mixing), yaitu pencampuran yang sesuai setelah panas diterapkan pada bahan bakar sehingga menghasilkan uap yang dibutuhkan untuk pembakaran. Pada mixing ini rasio bahan bakar terhadap oksigen harus benar sebelum penyalaan terjadi (flammable range). Tahap terakhir keenam merupakan kelanjutan ignisi (ignition continuity). Dalam kebakaran energi kimia diubah menjadi panas. Panas yang dipancarkan dari api kembali ke permukaan bahan bakar. Panas tersebut harus cukup untuk menjadi panas yang masuk (input heat) demi berlanjutnya siklus kebakaran. Jika laju panas yang diubah lebih cepat dari laju panas yang hilang panas dari kebakaran akan meningkat. Hal tersebut mengakibatkan proses reaksi berlangsung lebih cepat dan laju reaksi meningkat. Ketika laju konversi dari energi kimia menurun di bawah laju penghamburan, maka api akan padam. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa bagian terakhir, ignition continuity merupakan langkah pertama untuk siklus kebakaran selanjutnya, yaitu masuknya panas. 

 

Sumber panas untuk dimulai terjadinya api pada umumnya berasal dari sumber ignisi (ignition source). Kebakaran berawal dari terbentuknya api yang kemudian membutuhkan sumber penyalaan sampai mampu mempertahankan sendiri reaksi kimianya. Sumber penyalaan ditemukan di setiap tempat kerja ataupun di rumah. Sumber penyalaan dapat berasal dari berbagai bentuk antara lain, seperti termal, kimia, listrik, mekanik dan radiasi. Sumber bahan yang dapat menjadi bahan bakar adalah gas (LPG, asetilen), cairan (bensin, spirtus, alkohol, parafin, minyak tanah) dan padatan (kayu, plastik, karet dan batu bara). Oksigen atau Oksidator yang terkandung di udara dapat mempengaruhi perilaku api, yaitu meningkatkan intensitas kebakaran. Kondisi dimana terjadinya peningkatan konsentrasi oksigen antara lain pada ventilasi, sistem pengatur udara, dan silinder oksigen (Furness dan Muckett, 2007). 

 

Kebakaran akibat cairan mudah terbakar dapat dipadamkan dengan salah satu cara menurunkan konsentrasi oksigen hingga 12-16%. Kebakaran dari padatan memerlukan penurunan konsentrasi oksigen di bawah 5% untuk bara di permukaan dan di bawah 2% untuk bara yang mendalam. Metode untuk mencegah kebakaran pada penyimpanan cairan mudah terbakar pada tangki salah satunya dengan sistem penambahan gas inert (nitrogen). Kebakaran yang terjadi pada cairan mudah terbakar dengan sistem inert memerlukan penggunaan pemadam foam untuk memisahkan api dan udara (Center for Chemical Process Safety, 2003). Bahan kimia dapat melepaskan oksigen pada reaksi kimia atau sering disebut juga sebagai oksidator. Contoh oksidator antara lain adalah amonium nitrat, natrium klorat, hidrogen peroksida, dan senyawaan kromat. Oksidator dapat mengalami proses reaksi eksotermis yang sangat kuat jika kontak dengan bahan bakar yang mudah terbakar. Oksidator juga dapat meningkatkan kemudahan terbakar suatu bahan bakar yang awalnya tidak mudah terbakar. Penyimpanan oksidator harus dijauhkan dan disimpan terpisah dari bahan lain yang mudah terbakar (Furness & Muckett, 2007). 

 

Klasifikasi kebakaran merupakan penggolongan kebakaran berdasarkan jenis sumber bahan bakarnya. Klasifikasi kebakaran membantu untuk menentukan jenis pemadam yang sesuai dengan klasifikasi kebakaran. Klasifikasi kebakaran pada beberapa negara sangat berbeda, seperti di negara Amerika menggunakan National Fire Protection Association (NFPA) 10 Standard for Portable Fire Extinguishers untuk membagi klasifikasi api berdasarkan sumber bahan bakarnya, seperti kelas A bahan yang jika terbakar meninggalkan ABU (kayu, tekstil, kertas serta senyawa organik), kelas B cairan mudah terbakar atau cairan yang dapat mengalami pendidihan (gas mudah terbakar, bensin, alkohol dan minyak tanah), kelas C listrik (kebakaran yang melibatkan peralatan listrik kecuali jika peralatan listrik tersebut sudah dihilangkan listriknya, kebakaran dapat menjadi kelas A atau B), kelas D kebakaran dari logam (natrium, magnesium, titanium, litium dan kalium), kelas K kebakaran dari minyak goreng untuk memasak (minyak goreng). 

 

Sedangkan di negara Indonesia klasifikasi kebakaran telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Per.04/Men/1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan yang diadopsi dari NFPA 10, yaitu kelas A kebakaran bahan padat kecuali logam (kayu, tekstil, kertas dan senyawa organik), kelas B kebakaran bahan cair atau gas yang mudah terbakar (gas mudah terbakar, bensin, alkohol dan minyak tanah), kelas C kebakaran instalasi listrik bertegangan (kebakaran yang melibatkan peralatan listrik kecuali jika peralatan listrik tersebut sudah dihilangkan listriknya, kebakaran dapat menjadi kelas A atau B), kelas D kebakaran logam (natrium, magnesium, titanium, litium dan kalium). 

 

Karakteristik tingginya bahaya kebakaran pada suatu bahan bakar diindikasikan jika bahan tersebut memiliki sifat-sifat, seperti nilai kisaran batas nyala lebar, autoignition temperature rendah, titik nyala rendah, minimum ignition energy rendah (Center for Chemical Process Safety, 2003). Kondisi lainnya yang dapat menunjang proses kebakaran adalah jika kondisi kaya oksigen dan terjadi kenaikan temperatur dari bahan bakar. Konsep proses perpindahan panas merupakan konsep penting untuk memahami terjadinya penyebaran api. Api kecil dapat menjadi api besar yang sehingga akhirnya menjalar dan kebakaran dapat terjadi. Perpindahan panas dapat terjadi melalui tiga jenis proses, yaitu proses konduksi melalui padatan, konveksi melalui cairan atau gas dan radiasi oleh elektromagnetik radiasi tidak memerlukan medium. Proses konduksi terjadi dalam padatan sebagai mediumnya, sedangkan proses konveksi terjadi dalam cairan atau gas. Radiasi dipindahkan secara elektromagnetik dan tidak memerlukan medium. Perpindahan panas selalu terjadi dari kondisi panas menjadi dingin. Pemahaman mengenai perpindahan panas ini penting dalam kaitannya dengan kebakaran. Perpindahan panas dari proses kebakaran ke manusia dapat menyebabkan manusia terbakar, sedangkan perpindahan panas ke peralatan atau struktur dapat merusak gedung atau peralatan.  

 

Dari penjelasan di atas tentang prinsip dasar api dan kebakaran dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi bagaimana proses nyala api dapat terjadi, dari api kecil hingga menjadi besar dan mengakibatkan terjadinya kebakaran. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kebakaran, maka kita harus mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan kebakaran, seperti tidak meninggalkan kompor menyala, tidak menggunakan sumber listrik dengan beban yang berat, tidak meletakkan bahan yang mudah terbakar di dekat api, memeriksa kabel listrik yang terkelupas dan mengganti dengan yang baru dan menyediakan media pemadam kebakaran, seperti pasir, tandon air, dan alat pemadam kebakaran sesuai dengan tipe kebakaran. Selalu berhati-hati dan waspada karena kebakaran dapat terjadi di situasi atau waktu yang tidak dikehendaki yang bersifat merugikan dan sulit untuk dikendalikan. 

 

Semoga bermanfaat.