Saat ini, proses sertifikasi halal masih dilakukan di bawah kendali Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ada delapan tahap yang harus dilalui sebuah perusahaan jika ingin mendapat sertifikat halal dari MUI. Salah satunya adalah perusahaan membuat Sistem Jaminan Halal (SJH). Sistem itu mencakup penetapan kebijakan halal, penetapan Tim Manajemen Halal, pembuatan manual SJH, pelaksanaan pelatihan, penyiapan prosedur terkait SJH, pelaksanaan internal audit, dan kaji ulang manajemen. Namun, mulai 17 Oktober 2019, proses sertifikasi bakal melibatkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). BPJPH bertindak sebagai regulator, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) selaku auditor, dan MUI sebagai pemberi fatwa halal.

Perusahaan yang akan mensertifikasikan halal untuk produknya dituntut menyiapkan suatu sistem untuk menjamin kesinambungan proses produksi halal secara konsisten. Sistem inilah yang disebut sebagai Sistem Jaminan Halal (SJH). Sistem jaminan halal merupakan sebuah sistem yang mengelaborasikan, menghubungkan, mengakomodasikan dan mengintegrasikan konsep – konsep syariat Islam khususnya terkait dengan halal haram, etika usaha dan manajemen keseluruhan, prosedur dan mekanisme perencanaan, implementasi dan evaluasinya pada suatu rangkaian produksi atau olahan bahan yang akan dikonsumsi umat Islam.

 

Sistem ini dibuat untuk memperoleh dan sekaligus menjamin bahwa produk – produk tersebut halal. Sistem jaminan halal dibuat sebagai bagian integral dari kebijakan perusahaan, bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri. Sistem jaminan halal sebagai sebuah sistem pada suatu rangkaian produksi. Konsep – konsep syariat dan etika usaha akan menjadi input utama dalam sistem jaminan halal. Sistem jaminan halal senantiasa akan dijiwai dan didasari kedua konsep tersebut. Prinsip sistem jaminan halal pada dasarnya mengacu pada konsep Total Quality Manajement (TQM), yaitu sistem manajemen kualitas terpadu yang menekankan pada pengendalian kualitas pada setiap lini.

 

 

Sistem jaminan halal harus dipadukan dalam keseluruhan manajemen, yang berpijak pada empat konsep dasar, yaitu komitmen secara konsisten dapat memenuhi permintaan dan persyaratan konsumen, meningkatkan mutu produksi dengan harga yang terjangkau, produksi bebas dari kerja ulang, bebas dari penolakan dan penyidikan. Untuk mencapai hal tersebut perlu menekankan pada tiga aspek, yaitu : zero limit, zero defect dan zero risk. Dengan penekanan pada tiga zero tersebut, tidak boleh ada sedikitpun barang haram yang digunakan, tidak boleh ada proses yang menimbulkan keharaman produk, dan tidak menimbulkan resiko dengan penerapan ini. Oleh karena itu perlu adanya komitmen dari seluruh bagian organisasi manajemen, dimulai dari pengadaan bahan baku sampai distribusi pemasaran.

 

Sistem Jaminan Halal dalam penerapannya harus diuraikan secara tertulis dalam bentuk Manual Halal yang meliputi lima aspek : 1). Pernyataan kebijakan perusahaan tentang halal (Halal policy), 2). Panduan halal (Halal Guidelines), 3). Sistem Organisasi Halal, 4). Uraian titik kendali kritis keharaman produk, 5). Sistem audit halal internal. Manual halal harus dibuat secara terperinci disesuaikan dengan kondisi masing – masing perusahaan agar dapat dilaksanakan dengan baik. Panduan halal merupakan sistem yang mengikat seluruh elemen perusahaan. Dengan demikian harus disosialisasikan pada seluruh karyawan dilingkungan perusahaan, tidak hanya diketahui oleh pihak manajemen. Secara teknis panduan halal dijabarkan dalam bentuk prosedur pelaksanaan baku (Standard Operating Prosedure / SOP) untuk tiap bidang yang terlibat dengan produksi secara halal.

 

Selain itu, ada enam prosedur yang harus dilalui agar produk dari sebuah perusahaan mendapat sertifikat halal sesuai UU JPH. Pertama – tama, perusahaan harus mengajukan permohonan sertifikat halal secara tertulis kepada BPJPH. Setelah permohonan diterima, BPJPH menetapkan LPH yang akan bertugas memeriksa atau menguji kehalalan produk. LPH kemudian melakukan tugasnya di lokasi produksi dan hasil penelitian itu diserahkan kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH harus memberikan hasil pemeriksaan LPH kepada MUI. Setelah itu, MUI menggelar sidang fatwa halal untuk menentukan kehalalan produk yang diajukan. Jika produk terkait dinyatakan halal, BPJPH berhak menerbitkan sertifikat. Produk yang dinyatakan tidak halal akan dikembalikan ke pemohon, disertai alasan dari MUI dan BPJPH.

Karena relatif baru, BPJPH masih berusaha menyiapkan sejumlah infrastruktur untuk menerapkan Undang – Undang Jaminan Produk Halal (JPH), salah satunya adalah melakukan persiapan dalam hal penerimaan pendaftaran produk halal. Sistem Informasi Halal tersebut telah dilakukan uji coba pada bulan Maret – April 2019 lalu. Sementara menunggu kesiapannya, maka proses sertifikasi halal masih dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia hingga perangkat aturan pendukung dan infrastruktur sistem informasi halal siap beroperasi secara menyeluruh. Salah satu regulasi yang saat ini dikebut pembahasannya adalah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Jika RPP JPH tersebut selesai ditandatangani dan disahkan menjadi PP JPH, maka kewenangan penerbitan sertifikasi halal berada sepenuhnya di BPJPH selaku leading sector Jaminan Produk Halal.

 

Mulai tahun 2019 ini, produk yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia adalah WAJIB memiliki sertifikat halal, sesuai Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Aturan wajib sertifikat halal akan diimplementasikan mulai 17 Oktober 2019. Bagaimana proses pengurusan sertifikat halal bagi perusahaan?. Dalam melakukan tahapan sertifikasi halal, para pelaku usaha perlu menerapkan 11 kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH), yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

 

Pertama, Kebijakan Halal. Kebijakan halal ini merupakan kebijakan tertulis sebagai upaya untuk menunjukkan komitmen untuk memproduksi produk halal secara konsisten. Kebijakan halal ini perlu disosialisasikan oleh manajemen puncak kepada seluruh pemangku kepentingan perusahaan, termasuk kepada pemasok material terkait.

 

Kedua, Tim Manajemen Halal. Manajemen puncak harus menetapkan Tim Manajemen Halal yang mencakup semua bagian yang terlibat dalam aktifitas kritis serta memiliki tugas, tanggungjawab dan wewenang yang jelas.Tim ini memiliki kewenangan untuk menyusun, mengelola dan mengevaluasi SJH yang terdiri dari semua yang terlibat dalam aktifitas kritis.

 

Ketiga, Pelatihan dan Edukasi. Training atau pelatihan yang dilakukan bisa meliputi pembuatan SOP (Standard Operating Procedure) pelatihan SJH mencakup evaluasi kelulusan, kemudian training eksternal ke LPPOM MUI untuk perwakilan Tim Manajemen Halal, kemudian training internal untuk semua personil yang terlibat dalam implementasi SJH, serta edukasi terkait SJH yang berkaitan dengan perusahaan. Pelatihan internal harus dilaksanakan minimal setahun sekali dan pelatihan eksternal harus dilaksanakan minimal dua tahun sekali.

 

Keempat, Bahan yang perlu dilengkapi dengan dokumen pendukung, seperti: Sertifikat halal (jika ada, yang dikeluarkan oleh LLPOM MUI atau Lembaga yang diakui oleh LPPOM MUI), Diagram alur proses, Statement of Pork Free Facility dari Produsennya, Spesifikasi, MSDS, CoA. Setelah itu, dibuat daftar bahan halal yang disetujui LPPOM MUI kemudian didistribusikan ke seluruh bagian terkait. Para pelaku usaha harus mempunyai dokumen pendukung untuk semua bahan yang digunakan, kecuali bahan tidak kritis atau bahan yang dibeli secara retail. Bahan yang dimaksud bukan hanya bahan baku utama saja, melainkan juga bahan baku pendukung.

 

Kelima, Produk. Karakteristik atau profil sensori produk tidak boleh memiliki kecenderungan bau atau rasa yang mengarah kepada produk haram atau yang telah dinyatakan haram berdasarkan fatwa MUI. Merk atau nama produk yang didaftarkan untuk disertifikasi tidak boleh menggunakan nama yang mengarah pada sesuatu yang diharamkan atau ibadah yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Produk pangan eceran (retail) dengan merk sama yang beredar di Indonesia harus didaftarkan seluruhnya untuk sertifikasi, tidak boleh jika hanya didaftarkan sebagian.

 

Keenam, Fasilitas Produksi. A). Industri pengolahan : (i) Fasilitas produksi harus menjamin tidak adanya kontaminasi silang dengan bahan atau produk yang haram atau najis; (ii) Fasilitas produksi dapat digunakan secara bergantian untuk menghasilkan produk yang disertifikasi dan produk yang tidak disertifikasi selama tidak mengandung bahan yang berasal dari babi atau turunannya, namun harus ada prosedur yang menjamin tidak terjadi kontaminasi silang. B). Restoran atau Katering  atau Dapur: (i) Dapur hanya dikhususkan untuk produksi halal; (ii) Fasilitas dan peralatan penyajian hanya dikhususkan untuk menyajikan produk halal. C). Rumah Potong Hewan (RPH): (i) Fasilitas RPH hanya dikhususkan untuk produksi daging hewan halal; (ii) Lokasi RPH harus terpisah secara nyata dari RPH/peternakan babi; (iii) Jika proses deboning dilakukan di luar RPH tersebut, maka harus dipastikan karkas hanya berasal dari RPH halal; (iv) Alat penyembelih harus memenuhi persyaratan. Dengan kata lain, ruang penyimpanan bahan baku dengan ruang pencucian perlu dipisah. Selain itu, ruang sampling untuk material yang berasal dari hewan dan non hewan juga perlu dipisah sampai dengan pengemasan primer.

 

Ketujuh, Prosedur Tertulis untuk Aktifitas Kritis. Pelaku bisnis harus mempunyai prosedur tertulis mengenai pelaksanaan aktifitas kritis, yaitu aktifitas pada rantai produksi yang dapat mempengaruhi status kehalalan produk. Aktifitas kritis dapat mencakup seleksi bahan baru, pembelian bahan, pemeriksaan bahan datang, formulasi produk, produksi, pencucian fasilitas produksi dan peralatan pembantu, penyimpanan dan penanganan bahan dan produk, transportasi, pemajangan (display), aturan pengunjung, penentuan menu, pemingsanan, penyembelihan, disesuaikan dengan proses bisnis perusahaan (industri pengolahan, RPH, restoran atau katering atau dapur). Prosedur tertulis aktifitas kritis dapat dibuat terintegrasi dengan prosedur sistem yang lain. Yang menjadi kunci adalah pembelian bahan, jangan sampai bahan yang dibeli itu sertifikat halalnya lewat. Atau kita punya dua pemasok, dimana yang satu sudah halal, yang satu belum, hal ini akan menjadi masalah.

 

Kedelapan, Kemampuan Telusur (Traceability). Pelaku bisnis harus mempunyai prosedur tertulis untuk menjamin kemampuan telusur produk yang disertifikasi berasal dari bahan yang memenuhi kriteria (disetujui LPPOM MUI) dan diproduksi difasilitas produksi yang memenuhi kriteria (bebas dari bahan babi atau turunannya). Ketelusuran produk diawali dengan membuat prosedur kemampuan telusur halal, kemudian pengaturan pencatatan penggunaan bahan dan fasilitas produksi, serta mempersiapkan retained sample bahan dan produk jadi. Bukti ketertelusuran itu perlu disimpan.

 

Kesembilan, Penanganan Produk yang Tidak Memenuhi Kriteria. Terhadap produk yang tidak memenuhi kriteria, perlu dibuat prosedur penanganan produk yang tidak memenuhi kriteria serta definisi yang tepat mengenai produk yang tidak memenuhi kriteria, termasuk cara penanganannya, yaitu tidak dijual ke konsumen yang mempersyaratkan produk halal dan jika terlanjur dijual maka harus ditarik.

 

Kesepuluh, Audit Internal. Di antara hal – hal yang perlu dilakukan adalah dengan membuat prosedur dan checklist audit yang dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali dan dilaksanakan oleh auditor halal yang kompeten dan independen. Kemudian hasil audit tersebut disampaikan ke LPPOM MUI melalui CEROL serta tim manajemen halal, auditor, auditee, dan manajemen dalam bentuk laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.

 

Kesebelas, Kajian Ulang Manajemen yang pelaksanaannya dapat diintegrasikan dengan sistem lain. Kajian Ulang Manajemen ini dilakukan minimal dalam 1 (satu) tahun sekali dengan dihadiri oleh Top Management, kemudian hasilnya disampaikan kepada pihak yang bertanggung jawab untuk semua aktifitas.

 

Kesebelas hal tersebut diatas inilah yang akan menjadi obyek audit dari LPPOM MUI, untuk itu para pelaku usaha yang akan mengurus sertifikat halal harus menyiapkan kesebelas kriteria Sistem Jaminan Halal dengan sebaik–baiknya.

 

Semoga bermanfaat.